5 Sastrawan Perempuan Indonesia yang Mendunia, Siapa saja ?

Sekolahnews.com – Membaca karya sastra merupakan salah satu cara untuk menambah wawasan dan meningkatkan daya imajinasi bagi pelajar. Dalam kesusastraan Indonesia sendiri, ada banyak karya sastra yang dikenal mendunia.
Beberapa di antaranya merupakan karya dari sastrawan perempuan. Mereka berhasil mendapatkan penghargaan hingga kancah internasional.
Siapa sastrawan perempuan itu? Berikut ini daftarnya dikutip dari laman Direktorat SMP Kemdikbudristek RI.
5 Sastrawan Perempuan Indonesia yang Mendunia:
1. Ayu Utami
Ayu Utami atau Justina Ayu Utami dikenal sebagai novelis pendobrak kemapanan. Ketika menjadi wartawan, ia banyak mendapat kesempatan menulis.
Selama 1991, Ayu Utami aktif menulis kolom mingguan “Sketsa” di harian Berita Buana serta ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan ikut membangun Komunitas Utan Kayu.
Novel pertama yang ditulisnya adalah Saman (1998). Dari karyanya itu, Ayu menjadi perhatian banyak pembaca dan kritikus sastra karena novelnya dianggap sebagai novel pembaharu dalam dunia sastra Indonesia.
Melalui novel itu pula, ia memenangi Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Novel “Bilangan Fu” yang ditulisnya juga mendapatkan Penghargaan Khatulistiwa Literary Award tahun 2008.
2. Dewi Lestari
Penulis Dee yang bernama lengkap Dewi Lestari dulunya dikenal sebagai pencipta lagu dan penyanyi dari trio vokal “Rida, Sita, Dewi” pada Mei 1994.
“Supernova” adalah novelnya pertama yang direncanakan sebagai suatu novel serial dengan spirit penelusuran terhadap spiritualitas dan sains.
Novel ini laris hingga 12.000 eksemplar dalam tempo 35 hari dan terjual sampai kurang lebih 75.000 eksemplar. Supernova berhasil masuk nominasi Khatulistiwa Literary Award (KLA) yang digelar QB World Books (2001).
Buku tersebut bahkan berhasil menembus pasar internasional dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Hingga saat ini Dee Lestari telah menulis lebih dari 10 judul buku.
3. Nh. Dini
Selanjutnya ada Nh. Dini atau Nurhayati Sri Hardini yang mulai muncul bakat menulisnya sejak berusia sembilan tahun. Pada usia itu ia telah menulis karangan yang berjudul “Merdeka dan Merah Putih”.
Tulisan itu dianggap membahayakan Belanda sehingga ayahnya harus berurusan dengan Belanda. Kemudian beranjak dewasa, Nh. Dini telah melahirkan banyak karya puisi, novel, dan buku terjemahan.
Penghargaan yang telah diperolehnya adalah hadiah kedua untuk cerpennya “Di Pondok Salju” yang dimuat dalam majalah Sastra (1963), hadiah lomba cerpen majalah Femina (1980), dan hadiah kesatu dalam lomba mengarang cerita pendek dalam bahasa Prancis yang diselenggarakan oleh Le Monde dan Radio France Internationale (1987).
Nh. Dini juga menerima Penghargaan Sepanjang Masa atau Lifetime Achievement Award dalam malam pembukaan Ubud Writers and Readers Festival 2017.
4. Leila S. Chudori
Leila S. Chudori bukanlah nama yang asing dalam dunia sastra Indonesia. Sejak usia 11 tahun, saat masih duduk di kelas V SD, ia telah mempublikasikan karyanya di majalah.
Cerpen pertamanya yang berjudul “Pesan Sebatang Pohon Pisang” dimuat di majalah anak-anak Si Kuncung (1973). Sejak itulah, ia memulai karier menulisnya dan melahirkan karya-karyanya.
Setelah kuliah, Leila mulai menulis cerpen-cerpen yang lebih serius dan dimuat di majalah sastra Horison, surat kabar Kompas Minggu, Sinar Harapan, serta majalah Zaman dan Matra.
Perempuan kelahiran 12 Desember 1962 ini adalah seorang wartawan. Ia berhasil menyabet penghargaan South East Asia Write Award pada tahun 2020 atas novelnya, “Laut Bercerita”. Hingga saat ini ia telah menerbitkan tujuh karya yang terdiri dari novel, kumpulan cerpen, dan lain-lain.
5. Djenar Maesa Ayu
Djenar Maesa Ayu atau yang akrab disapa Nai adalah penulis yang berasal dari keluarga seniman. Nai memulai menggeluti menulis dengan menemui sejumlah sastrawan seperti Budi Darma, Seno Gumira Ajidarma, dan Sutardji Calzoum Bachri.
Salah satu ciri karyanya adalah temanya dunia perempuan dan seksualitas. Karya pertamanya adalah cerpen “Lintah” (2002) yang bertema feminisme dan dimuat di Kompas.
Buku pertama Nai berupa kumpulan cerpen yang berjudul “Mereka Bilang, Saya Monyet!” (2004). Buku itu telah dicetak ulang delapan kali dan masuk dalam sepuluh buku terbaik Khatulistiwa Literary Award 2003. Buku itu juga diterbitkan dalam bahasa Inggris.
Kumpulan cerpen Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) juga mendapat penghargaan lima besar Khatulistiwa Literary Award 2004.
Kemudian cerpen “Menyusu Ayah” menjadi Cerpen Terbaik 2003 versi Jurnal Perempuan dan diterjemahkan oleh Richard Oh ke dalam bahasa Inggris dengan judul “Suckling Father” untuk dimuat dalam Jurnal Perempuan versi bahasa Inggris khusus edisi karya terbaik.(detik.com).