Sejarah Indonesia di Paralimpiade

Sekolahnews.com – Indonesia pertama kali tercatat tampil dalam Paralimpiade pada 1976 di Toronto, Kanada, dan sempat beberapa kali meraih medali meski tradisi tersebut sempat terputus.
Senny Marbun, Presiden National Paralympic Committee of Indonesia (NPCI) atau Komite Paralimpiade Nasional Indonesia (KPNI), mengisahkan sejarah olahraga difabel Indonesia dimulai setelah masa perang mempertahankan kemerdekaan yakni pada 1956 atau 20 tahun sebelum keikutsertaan pertama di Paralimpiade.
Profesor Doktor Suharso menjadi bapak Paralimpiade Indonesia. Pada 1956 Suharso diperintahkan Presiden Soekarno untuk mendirikan rumah sakit ortopedi.
Rumah sakit tersebut diperuntukkan bagi pasien korban perang serta menangani penyakit polio yang sedang mewabah di Indonesia pada masa itu.
Pada 1962 Suharso mendapat undangan dari sebuah lembaga Belanda untuk mengikuti olahraga ekshibisi masyarakat difabel. Suharso memutuskan mengirim beberapa wakil. Dari ajang inilah awal mula olahraga difabel Indonesia tumbuh.
“Pak Suharso diundang ke Belanda tahun 1962 untuk mengikuti olahraga ekshibisi masyarakat difabel. Pak Harso ngirim, yang diketuai pak Pairan Manurung. Pulang dari sana, itulah embrionya YPOC Indonesia,” ucapnya menambahkan.
Seiring berjalannya waktu, YPOC merupakan singkatan dari Yayasan Pembina Olahraga Catat, berubah menjadi Badan Pembina Olahraga Cacat (BPOC) pada tahun 1993, lantas diubah lagi menjadi NPCI pada 2010. International Paralympics Committee (IPC) sendiri telah meminta seluruh negara menggunakan kata ‘paralympic’ untuk olahraga difabel lima tahun sebelumnya.
“Olahraga difabel itu mulai diakui itu pas Paralimpiade 1988 di Korea Selatan, tetapi kita di dalam negeri belum diakui. Kita mulai dapat perhatian serius pemerintah itu pas 2010, pas menteri olahraganya pak Andi Mallarangeng,” kata Senny.
“Pak Andi yang meminta kami untuk segera keluar dari KONI, karena di undang-undang memang kita [masyarakat difabel] itu sederajat. Bunyinya begitu. Jadilah pada 28 Juli 2010 kita berganti nama jadi NPC,” ujarnya menjelaskan. Senny mengisahkan, saat tampil di Paralimpiade 1976, Indonesia hanya mengirim beberapa orang wakil. Saat itu belum ada nama Paralimpiade. Indonesia bisa berangkat ke Toronto, Kanada, karena diundang secara langsung oleh tuan rumah.
Pada edisi perdana keikutsertaan inilah Indonesia dua medali emas diraih. Emas pertama disumbangkan Itria Dini dari nomor lempar lembing putra kategori F, dan Syarifuddin dari nomor lawn bowls putra kategori E.
Indonesia kembali diundang ke Paralimpiade 1980 Belanda. Seperti edisi sebelumnya, Indonesia meraih dua medali emas. Kali ini lewat Yan Soebiyanto lewat nomor lawn bowls putra kategori E dan R.S. Arlen lewat nomor angkat besi putra -57kg amputasi.
Senny mengatakan, wakil Indonesia bisa meraih emas dalam pesta olahraga tersebut karena kontingen yang tampil belum banyak. Sudah begitu disiplin kategori perlombaan juga belum ketat karena masih berupa ekshibisi.
Setelah meraih emas pada Paralimpiade 1980, capaian wakil Indonesia menurun di keikutsertaan selanjutnya.
Seusai Paralimpiade Seoul yang secara resmi jadi bagian tak terpisahkan Olimpiade, Indonesia kesulitan meraih medali. Ini tak lain karena jumlah pesaing makin banyak dan olahraga difabel bukan rekreasi lagi.
Indonesia baru memecahkan kembali meraih medali pada Paralimpiade London 2012. Satu medali perunggu diraih David Jacobs lewat nomor tunggal putra tenis meja kelas 10.
Empat tahun berselang, Ni Nengah Widiasih yang tampil di angkat beban putri kelas 41 kg mempersembahkan perunggu dalam Paralimpiade Rio 2016.
Untuk Paralimpiade Tokyo 2020, NPC berharap bisa meraih medali emas. Kali Indonesia berangkatkan 23 atlet atau jumlah terbesar dalam sejarah. Senny berharap masyarakat Indonesia mendoakan atlet yang tampil seperti dukungan saat Olimpiade.
“Kami menargetkan minimal satu medali emas. Kami mengharap doa dan dukungan masyarakat agar target ini tercapai. Kami juga ingin mengharumkan nama bangsa dalam suasana kemerdekaan Indonesia yang ke-76,” ucap Senny.(cnnindonesia.com).