Pratiwi Sudarmono, Astronot NASA Wanita Pertama dari Asia

Sekolahnews.com – Misteri alam raya selalu menjadi hal yang menarik untuk dipelajari. Mengetahui banyak hal dan pergi ke luar angkasa pasti menjadi keinginan banyak orang. Menjadi astronot menjadi salah satu alternatif yang dapat ditempuh bila kita ingin pergi ke luar angkasa sambil bekerja.
Salah satu astronot wanita dari Indonesia dan Asia yang pernah dijadwalkan terbang bersama Badang Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat atau NASA adalah Pratiwi Pujilestari Sudarmono, yang dikenal dengan nama Pratiwi Sudarmono.
Sebelum menjadi calon astronot yang bergabung di NASA, ia adalah seorang dokter mikrobiologi. Pratiwi yang lahir di Bandung pada 31 Juli 1953 merupakan anak sulung dari enam bersaudara yang telah memiliki bakat mempelajari tata surya sejak kecil.
Pratiwi kecil menyelesaikan pendidikannya di SD St. Joseph tahun 1964, kemudia melanjutkan ke SMP St. Angela dan lulus pada 1967 dan SMA Putri Tarakanita Jakarta pada tahun 1970. Selepas SMA, ia melanjutkan pendidikan kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan lulus pada tahun 1976.
Setelah dari UI, ia melanjutkan studi dan penelitiannya di Research Institute for Microbial Diseases di Osaka University, Jepang. Pada tahun yang sama ia juga mendapatkan brevet keahlian dalam bidang mikrobilogi klinik. Ia juga merupakan perempuan pertama yang mendapatkan gelar doctor (Ph.D.) di bidang kedokteran dari Jepang.
Saat pemerintah Indonesia bekerja sama dengan NASA (National Aeronautics and Space Administration) pada tahun 1985, Pratiwi Sudarmono terpilih menjadi ilmuwan yang mewakili Indonesia dengan seleksi yang ketat sekitar 200 pelamar untuk mewakili Indonesia.
Pratiwi dengan ditemani oleh Taufik Akbar, salah seorang insiinyur telekomunikasi dari ITB, rencananya akan menuju luar angkasa bersama astronot Inggris dengan menggunakan pesawat ulang alik Columnia pada 24 Juni 1986, yang bertujuan membawa tiga satelit komersial yakni Skynet 4A, Palapa B3, dan Westar 6S.
Sayangnya, pada 28 Januari 1986, pesawat ulang alik Challenger yang membawa misi lain, yakni STS-51-L meledak di udara hanya 73 detik setelah diluncurkan. Peristiwa yang menewaskan tujugh orang astronot ini menyurutan program ulang alik Amerika selama hampir tiga tahun. Selain itu, membuat program antariksawan asing yang dijadwalkan ikut penerbangan ulang alik menjadi terlantar termasuk program yang diikuti Pratiwi.
Tidak seperti program astronot Inggris yang segera dibubarkan setelah bencana Challenger, program antariksawan Indonesia terus berjalan hingga beberapa tahun setelah kecelakaan tersebut, tetapi statusnya menggantung.
Hingga lima tahun dari peristiwa itu. Pratiwi masih kerap ditanyai oleh wartawan mengenai kapan ia akan terbang. Setelah lima tahun dari peristiwa kecelakaan tersebut, nama calon astronot Indonesia tidak ada lagi dalam list NASA. Hal ini diperkuat dengan meja yang dulu disediakan untuk calon astronot Indonesia di Houston, sudah tidak ada lagi.
Namun, setelah kecelakaan pesawat itu, Pratiwi masih beresempatan menjalani penelitian yang dijalankan di komplek NASA hiangga tahun 1987 dan terus menjaga kebugaran badannya karena secara resmi program itu belum dinyatakan bubar.
Ketika krisis moneter melanda Indonesia pada 1997, kesempatan Pratiwi untuk terbang ke angkasa luar benar-benar kandas karena tidak ada lagi dana untuk membiayai program, latihan astronot Indonesia.
Dengan berbagai prestasinya, Pratiwi Sudarmono menerima berbagai penghargaan. Tahun 1988 ia mendapat penghargaan sebagai peneliti terbaik Universitas Indonesia serta gelar Widya Prasara dari Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia sebagai ilmuwan Mikrobiologi Teladan pada 1986. Pada tahun 2008, Pratiwi Sudarmono diangkat sebagai Guru Besar/ Profesor Kehormatan Ilmu Mikrobiologi Fakultas Kedokteran UI. Penghargaan untuknya yang lain adalah GE Indonesia Recognition for Inspiring in STEM Award pada tahun 2019. Kini Pratiwi Sudarmono lebih mengabdikan dirinya menjadi guru besar ilmu mikrobioloi di Fakultas Universitas Indonesia.(kalderanews.com).