Infeksi Resistensi Antibiotik Merajalela
SekolahNews — Selama bertahun-tahun, para peneliti telah memperingatkan terkait “superbug”, bakteri yang tahan terhadap antibiotik. Meskipun demikian, bahayanya lebih tinggi dari sebelumnya. Ini menyebabakan World Health Organization (WHO) menyelenggarakan World Antibiotic Awareness Week.
Sebelum pertengahan abad ke-20, penularan infeksi bakteri dapat dengan mudah membunuh Anda.
Lalu muncul gebrakan yang ditemukan oleh Alexander Fleming, yang menemukan penicilin pada akhir 1920-an, dan kemudian dianugerahi Penghargaan Nobel untuk karyanya.
Baca juga: 6 Resiko yang Dialami Kulit karena Terlalu Sering Mencuci Muka |
Antibiotik memberikan perubahan paradigma dalam ilmu kedokteran. Antibiotik menyelamatkan banyak nyawa. Tetapi bakteri terus berevolusi, dan beberapa antaranya selalu kebal terhadap obat.
Patogen pada akhirnya mendapatkan resistensi, kemudian ini menyebabkan muncul semakin banyak antibiotik. Kemudian patogen patogen tersebut berkembang biak dan memperbanyak resistensi trsebut ke patogen patogen lain.
Mereka bahkan dapat berbagi resistensi dengan mikroba lain. Jadi, pada saat ini, superbug tahan terhadap seluruh jenis antibiotik yang kita miliki.
Riset Antibiotik
Riset terhadap antibiotik mulai berkembang pesat hampir menyaingi bidang pengobatan lain dalam penelitian medis. Sekitar 20 kelas antimikroba utama baru ditemukan antara tahun 1940-an dan 1960-an. Tetapi selama 60 tahun terakhir, hanya 2 kelas obat baru yang telah disetujui.
Sementara itu, masalah multiresistensi telah tumbuh semakin akut. Para ahli memperkirakan patogen multiresisten telah menewaskan sekitar 700.000 orang di seluruh dunia tahun lalu. Tetapi masih belum ada rencana global yang komprehensif untuk menanganinya.
Tim Eckmann, dari Robert Koch Institute di Berlin, pemimpin tim yang meneliti resistensi antibiotik, memberikan gambaran sederhana terkait mengapa fenomena ini berkembang luas.
“Ada beberapa alasan tergantung kondisi yang berbeda-beda, misalnya, di negara-negara berpenghasilan tinggi, para dokter terlalu sering memberikan resep antibiotik kepada pasien, sehingga terjadinya resistensi antibiotik, tetapi jika Anda memiliki pemahaman secara global, contohnya sangat berbeda di negara-negara miskin, di negara-negara berpenghasilan rendah, malah yang terjadi adalah tidak terlalu banyak penggunaan antibiotik, lebih kepada penyalahgunaan obat obatan dan faktor-faktor lain seperti tidak adanya toilet dan tidak ada sistem kesehatan yang layak” ungkap Eckmann.
Pemahaman Kurang
Terlepas dari faktor lingkungan, ternyata pemahaman masyarkat yang kurang menjadi penyebab maraknya masalah ini. “Ada penelitian baru tentang ini, bahwa kadang-kadang ada keuntungannya juga dari tidak menghabiskan antibiotik, misalnya, bertahun-tahun yang lalu untuk penyakit pneumonia, kami menyarankan untuk pasien meminumnya selama sepuluh hari, lalu tujuh hari, sekarang menjadi hanya lima hari. Tentu saja anda harus minum antibiotik selama yang dokter sarankan kepada anda, jangan menghentikannya atas inisiatif sendiri.” lanjutnya.
Baca juga: 7 Masalah Tidur Umum Ini Ternyata Indikasi Gangguan Kesehatan Serius |
Tetapi apakah mungkin untuk bisa mengandalkan masyarakat semata dalam upaya ini? Apakah masyarakat bisa sepenuhnya diyakinkan akan manfaat dari antibiotik? “Ada penelitian yang bekerja terhadap penyakit yang berbeda ( yang tidak bisa ditangkal antibiotik), tetapi kami belum menemukan cara lain, saat ini, kita sangat membutuhkan antibiotik bagi pengobatan” katanya
Menurut Eckmann, terlepas dari upaya masyarakat, pihak perusahaan farmasipun juga diminta ikut serta dalam mencari solusi yang bisa mencegah penyusutan dalam penggunaan antibiotik. “Saya merasa usaha mereka masih belum cukup. Mereka tidak tertarik karena mereka tidak dapat menghasilkan banyak uang dengan antibiotik seperti halnya dengan obat lain. Tetapi kita harus memahami bahwa obat baru ini hanya untuk menunda masalah terhadap resistensi antibiotik. Antibiotik baru hanya sebagian kecil dari seluruh masalah. Jauh lebih penting saya pikir saat ini adalah menggunakan obat-obatan ini, yang sekarang kita miliki, dengan cara yang lebih baik.“ tambah ilmuwan tersebut. (Andri Mufid)
(Sumber: DW News)