Kenapa Chef Mayoritas Laki-Laki daripada Perempuan

Sekolahnews.com – Profesi juru masak ataupun chef lebih banyak ditekuni laki-laki daripada perempuan. Menurut mitos hal tersebut dikarenakan perempuan tidak stabil secara sensori, apakah hal tersebut benar?
Dosen IPB University dari Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian (Fateta), Dede Robiatul Adawiyah membantah mitos tersebut. Berdasarkan hasil riset yang telah dilakukannya nyatanya ada perbedaan nilai threshold sensori antara laki-laki dan perempuan.

“Perempuan ternyata lebih sensitif. Punya kemampuan mendeteksi rasa manis, pada konsentrasi yang lebih rendah, jika dibandingkan dengan laki-laki. Tapi ada kelemahan pada perempuan. Yakni adanya siklus menstruasi maupun kehamilan yang mau tidak mau mempengaruhi sensitivitas seseorang. Sehingga di dalam pengujian sensori, ada ketentuan gender. Tidak boleh hanya laki-laki saja atau perempuan saja. Itu harus seimbang,” ujar Dede yang dikutip dari laman IPB.

Ia berpendapat hanya laki-laki yang boleh menjadi chef hanyalah mitos. Kemampuan sensori seseorang tidak hanya ditentukan oleh gender. Untuk memastikan hal tersebut diperlukan adanya konsistensi sensori.

“Seseorang dianggap punya performance yang baik dalam evaluasi sensori, ditentukan oleh beberapa ketentuan. Yakni mampu mendeteksi atau membedakan dan memiliki konsistensi atau bisa memberikan nilai yang sama dari waktu ke waktu dengan produk yang sama,” kata Dede.

Untuk menjadi seorang chef tidak ada ketentuan antara laki-laki dan perempuan. Tetapi harus diakui karena laki-laki lebih konsisten karena tidak memiliki siklus metabolisme yang bervariasi.

“Untuk menghasilkan produk pangan yang sama dari hari ke hari itu perlu konsistensi. Itu yang mungkin bisa jadi kencenderungan kenapa banyak chef itu laki-laki,” ujar Dede.

Dede menjelaskan metode yang digunakan untuk riset sensoria ada lebih dari 30 metode. Metode-metode tersebut lebih banyak yang kuantitatif daripada kualitatif.

“Pada beberapa tahun terakhir, terjadi pergeseran paradigma penggunaan instrumen uji sensori dari panel terlatih menjadi panel konsumen. Hal tersebut disukai oleh industri pangan, karena konsumen adalah pengguna akhir dari produk yang dihasilkan,” kata Dede.

Menurut Dede, kemampuan industri untuk memahami posisi produk dalam perspektif sensori dari kategori produk yang ada di pasaran, termasuk produk kompetitor, menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan di pasaran.

Ia menjelaskan jika penggunaan manusia sebagai instrumen ukur harus terus digunakan dan akan berkembang di masa depan. Tantangannya adalah pengontrolan terhadap manusia atau panel sensori yang digunakan.

“Teknik kalibrasi dan validasi panel sensori perlu ditetapkan dan distandarkan untuk meyakinkan hasil pengukuran sensori yang dihasilkan valid, dapat dipercaya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,” jelas Dede.

Adapun, adanya perbedaan kultur, kebiasaan makan di tiap negara juga mempengaruhi perbedaan persepsi sensori. Memahami aspek perilaku konsumsi dan sosial di masing-masing negara adalah kunci dalam bisnis global.(detik.com).