Mengapa Tikus Sering Jadi Hewan Percobaan dalam Penelitian

Sekolahnews.com – Tikus merupakan hewan pengerat yang kehidupannya termasuk dekat dengan manusia. Namun, keberadaannya seringkali dianggap kotor, jorok, mengganggu, dan bisa menyebarkan penyakit berbahaya.

Meski dianggap hama dan dibasmi, tetapi tikus juga berjasa kepada manusia karena sering dimanfaatkan sebagai hewan percobaan dalam sebuah penelitian. Perusahaan obat-obatan, universitas, sekolah, fasilitas pemerintah, dan rumah sakit adalah instansi yang yang sering menggunakan hewan dalam eksperimen.

Uji coba hewan atau animal testing memang bukan hal baru dalam sebuah eksperimen. Ada beberapa istilah yang berkaitan dengan uji coba hewan, seperti in-vivo dan vivisection. Umumnya, uji coba hewan dilakukan untuk penelitian biomedis, pengujian obat-obatan dan zat-zat biologis, serta sebagai sarana pendidikan.

Dari sekian banyak pilihan hewan yang sering dimanfaatkan untuk penelitian, tikus menjadi salah satu yang paling sering digunakan. Lantas, mengapa uji coba penelitian harus dilakukan kepada hewan dan ada apa dengan tikus?

Memahami peran hewan dalam penelitian

Perlu kita ketahui bahwa tujuan dari penelitian biomoedis adalah menerjemahkan penemuan dan pengamatan di laboratorium atau klinik menjadi terapi baru. Metode penelitian biomedis dapat mencakup studi pada manusia, hewan, hingga sel dan jaringan hewan, manusia, dan tumbuhan. Juga mikroorganisme termasuk bakteri, ragi, dan virus.

Pada sebuah penelitian, uji coba hewan sangat penting untuk memahami pertanyaan kompleks tentang perkembangan penyakit, genetika, risiko seumur hidup, atau mekanisme biologis lain. Namun, di sisi lain tidak etis, tidak dapat diterima secara moral, secara teknis tidak layak, atau terlalu sulit untuk dilakukan pada subjek manusia sehingga para peneliti melakukannya pada hewan.

Beberapa contoh mengenai tujuan dilakukan uji coba pada hewan misalnya memastikan bahan baku dalam sebuah produk benar-benar aman, memastikan senyawa-senyawa yang digunakan dalam produk tidak memiliki efek negatif pada jaringan tubuh manusia, dan mengetahui potensi iritasi bahan baku terhadap kulit atau mata.

Program penelitian yang menggunakan hewan percobaan dapat ditemukan di bidang kesehatan, termasuk epidemiologi, kanker, penuaan, endokrinologi, neuroendokrinologi, diabetes, biologi seluler, biologi molekuler, farmakologi, psikofarmakologi, ilmu saraf, genetika, virologi, dan masih banyak lagi.

Adapun hewan yang digunakan dalam penelitian adalah babon, kucing, sapi, anjing, musang, ikan, katak, marmut, hamster, kuda, monyet, tikus, burung hantu, kelinci, dan domba.

Mengapa tikus jadi hewan percobaan?

Hewan pengerat punya peran penting dalam penelitian biomedis. Bahkan, 95 persen dari semua hewan laboratorium adalah tikus dan mencit (tikus putih berukuran kecil). Tikus telah menjadi model hewan pilihan bagi para peneliti biomedis karena fisiologi dan susunan genetik mereka sangat mirip dengan manusia. Meski terdapat perbedaan tertentu antara manusia dan hewan pengerat, kesamaannya cukup kuat untuk menyelidiki penyakit manusia.

Sejak lama para ilmuwan dan peneliti telah mengandalkan tikus dalam penelitian, misalnya karena hewan ini berukuran kecil, mudah ditempatkan dan dipelihara, dapat beradaptasi dengan baik di lingkungan baru, menjadi sumber daya genetik yang melimpah, berkembang biak dengan cepat, dan memiliki umur pendek antara dua sampai tiga tahun sehingga beberapa generasi tikus dapat diamati dalam waktu yang relatif singkat. Pun karena kesamaan anatomi, fisiologis, genetik, dan perilaku yang mirip dengan manusia.

Selain itu, tikus juga cenderung murah dan dapat dibeli dalam jumlah besar dari produsen komersial yang membiakkan hewan pengerat khusus untuk penelitian. Meski ada beberapa jenis tikus yang sulit dikendalikan, tetapi secara umum hewan ini mudah ditangani oleh para peneliti.

Beberapa contoh penyakit manusia yang bisa dilakukan uji coba pada hewan antara lain hipertensi, diabetes, katarak, obesitas, kejang, masalah pernapasan, masalah pendengaran, parkinson, alzheimer, kanker, penyakit jantung, cedera tulang belakang, hingga HIV dan AIDS.

Menurut dosen kimia dari ITB, Dr. rer. nat. Fifi Fitriyah Masduki, S.Si., M.Sc., tikus memiliki banyak fungsi anatomi yang mirip dengan yang dimiliki manusia. Selain mirip secara anatomi, genom tikus dan manusia juga seringkali mirip. Dalam sepanjang sejarah, tikus memang sangat sering terlibat sebagai model penelitian di berbagai universitas di dunia. Bahkan, banyak pula para peneliti yang melibatkan tikus pada penelitiannya sebagai animal model kemudian mendapat Nobel Prize.

Lebih lanjut, Fifi menjelaskan bahwa saat ini sudah banyak perusahaan yang menyediakan budidaya tikus transgenik. Adapun penelitian terkait penyakit manusia yang memanfaatkan model berupa tikus salah satunya soal malaria.

“Spesies parasit yang paling banyak menginfeksi manusia melalui penyakit malaria adalah vivax dan falciparum. Bahaya dari spesies falciparum ini merupakan kecepatannya untuk berkembang biak dan menyebar ke berbagai organ tubuh manusia seperti otak melalui peredaran darah. Dampak terparah dari penyebarannya adalah menyebabkan koma terhadap manusia,” jelasnya.

Berbagai hipotesis mengenai identifikasi parasit dalam malaria bisa dikonfirmasi melalui penelitian menggunakan model tikus. Kemudian, dari hasil penelitan dapat tercipta target obat baru untuk malaria yaitu SUB1 dan DPAP3. Untuk menguji obat tersebut, digunakan model berupa tikus untuk diteliti dan dibantu pula oleh Genome Database Plasmodium.

Untuk penggunaan hewan dalam penelitian, kita juga perlu mengenal konsep 3Rs, yaitu replacement (penggantian), reduction (pengurangan), dan refinement (perbaikan). Uji coba pada hewan juga perlu dilakukan sesuai etika, termasuk cara memperoleh, transportasi, pengandangan, kondisi lingkungan, makanan, perawatan, pengawasan, dan teknik pelaksanaan uji coba dengan anestesi agar tidak menimbulkan rasa nyeri pada hewan.

Menurut penjelasan Guru Besar Fakultas Peternakan dan Program Studi Kedokteran Hewan Universitas Padjadjaran, Prof. drh. Roostita L. Balia, M.App.Sc., PhD, uji coba pada hewan juga harus mementingkan kenyamanan dan jangan sampai hewan tersebut mengalami stres dan sakit.

“Kalau hewan itu nyaman, peneliti akan lebih mudah mengambil sampelnya,” jelasnya. Ia juga mengatakan bahwa penelitian menggunakan hewan percobaan wajib mematuhi kode etik yang sudah ditetapkan dan para peneliti juga harus memiliki surat etik yang dikeluarkan Komisi Etik yang diakui secara internasional.(goodnewsfromindonesia.id).