Mengenal 14 Pahlawan Nasional yang Gugur di Usia Muda

SekolahNews — Mereka juga tak peduli dengan nyawa apalagi usia, beberapa dari pahlawan nasional ada yang wafat muda saat membela negara. Perjuangan mereka menunjukkan betapa tinggi semangat kebangsaan kaum pemuda Tanah Air.

Maju tak gentar membela yang benar, jiwa-jiwa bergetar menahan lapar agar penjajah mati terkapar. Berjuang sekuat tenaga atas nama bangsa dan kemerdekaan. Tak peduli tua atau muda, semua bersatu rebut kemerdekaaan.

1. Martha Christina Tiahahu (17)

Martha Christina Tiahahu lahir di Nusa Laut, Maluku, 4 Januari 1800 dan meninggal di Laut Banda, Maluku, 2 Januari 1818 pada umur 17 tahun. Ia adalah seorang gadis dari Desa Abubu di Pulau Nusalaut.

Lahir sekitar tahun 1800 dan pada waktu mengangkat senjata melawan penjajah Belanda berumur 17 tahun. Ayahnya adalah Kapitan Paulus Tiahahu, seorang kapitan dari negeri Abubu yang juga pembantu Thomas Matulessy dalam perang Pattimura tahun 1817 melawan Belanda.

Martha Christina tercatat sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang unik yaitu seorang puteri remaja yang langsung terjun dalam medan pertempuran melawan tentara kolonial Belanda dalam perang Pattimura tahun 1817.

Setelah memimpin berbagai aksi melawan Belanda, ia pun kemudian tertangkap dan diasingkan ke Batavia. Selama di perjalanan, ia melakukan aksi mogok makan hingga jatuh sakit dan meninggal di usia 17 tahun.

2. Kapitan Pattimura (34 tahun)

Ia lahir di Negeri Haria, Saparua, Maluku pada 8 Juni 1783. Ia bernama asli Thomas Matulessy. Pattimura pernah masuk militer Inggris dengan pangkat terakhir sersan.

Serangan Pattimura menewaskan Residen Van de Berg dan tentara Belanda yang ada dalam bentengnya. Selama tiga bulan Benteng Duurstede kemudian berhasil dikuasai pasukan Pattimura.

Belanda membalas serangan dengan melakukan operasi besar-besaran, hingga akhirnya berhasil menangkap Pattimura dan pasukannya di sebuah rumah kawasan Siri Sori.

Pattimura dibawa ke Ambon dan diadili di pengadilan Belanda hingga dijatuhi hukuman gantung pada 16 Desember 1817 di depan benteng Niew Victoria, Ambon. Saat itu, Pattimura berusia 34 tahun.

3. RA Kartini (25)

Ia dikenal sebagai perempuan pejuang emansipasi. Kartini yang masih keturunan ningrat ini juga berjasa bagi dunia pendidikan Indonesia. Dialah yang memelopori kebangkitan perempuan Indonesia. Lewat tulisan, pemikiran Kartini bisa terdengar hingga Belanda. Kartini sering mengirim surat kepada temannya di Belanda, dia juga mengirimkan tulisannya ke media lokal di Belanda.

Dia mendirikan sekolah gratis bagi anak-anak perempuan untuk mewujudkan cita-citanya. Kartini meninggal di usia 25 tahun pada 17 September 1904, tiga hari setelah melahirkan putranya.

Setelah meninggal, surat-surat Kartini dibukukan dan dikenal dengan buku Habis Gelap Terbitlah Terang.

4. Abdul Halim Perdanakusuma (25)

Ia lahir di Sampang 18 November 1922, dan meninggal di Malaysia, 14 Desember 1947 pada umur 25 tahun ketika pesawat yang ditumpanginya jatuh saat ia dalam perjalanan pulang dari tugas negara di Malaysia bersama opsir Iswahyudi.

Halim Perdanakusuma adalah pilot andalan TNI AU. Saat kembali ke Tanah Air, ia bergabung dengan angkatan udara. Ia membuka hubungan luar negeri untuk mencari senjata bagi pejuang kemerdekaan.

5. Pierre Tandean (26)

Pierre Andreas Tendean adalah seorang perwira militer Indonesia yang menjadi salah satu korban peristiwa Gerakan 30 September pada tahun 1965. Ia lahir 21 Februari 1939 dan meninggal pada 1 Oktober 1965 dalam usia 26 tahun.

Pierre Tandean adalah ajudan Jenderal Nasution. Dia tewas saat peristiwa G-30S ketika sedang berjaga di rumah Jenderal Nasution. Namun diduga kelompok penyerang salah tangkap, mengira ia adalah Nasution.

Mengawali karier militer dengan menjadi intelijen dan kemudian ditunjuk sebagai ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution dengan pangkat letnan satu, ia dipromosikan menjadi kapten anumerta setelah kematiannya. Ia pun dibunuh di lubang buaya bersama Pahlawan Revolusi lainnya.

6. Harun Tohir dan Usman Janatin

Harun Tohir lahir pada 4 April 1943 di Pulau Keramat Bawean, Jawa Timur dan Usman lahir di Desa Tawangsari, Kelurahan Jatisaba, Purbalingga, pada 18 Maret 1943.

Mereka adalah anggota sukarelawan Korps Komando Angkatan Laut (KKO) itu pada Juli 1964 masuk dalam tim Brahma I di Basis II Ops A KOTI, untuk menjalankan tugas rahasia bersama Usman Janatin bin Muhammad Ali, dan Gani bin Aroep.

Wajahnya yang oriental ditambah kemampuan menguasai bahasa Tiongkok, bahasa Inggris, dan bahasa Belanda, membuat Harun dan kedua rekannya ditugaskan ke Singapura menyamar sebagai pelayan dapur.

Harun dan Usman ditangkap patroli Singapura pada 13 Maret 1965. Keduanya diadili hingga dijatuhi vonis mati. Mereka menjalani hukuman gantung di penjara Changi, Singapura, pada 17 Oktober 1968. Sedangkan, Gani mencari jalan lain dan lolos.

Mereka meninggal dunia setelah dijatuhi hukuman mati pada usia 25 tahun.

Untuk mengenang jasa keduanya, nama mereka diabadikan sebagai nama kapal perang RI Usman-Harun.

7. Daan Mogot

Daan Mogot lahir di Manado, 28 Desember 1928 dengan nama asli Elias Daniel Mogot. Pada 1943, Daan Mogot menjadi instruktur Pembela Tanah Air (Peta) di Bali, dan bergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat (BKR) pada 17 Agustus 1945. Bersama rekannya di Peta pulau Dewat, Daan Mogot mendirikan Akademi Militer Tangerang, yang saat itu merekrut 180 orang sebagai calon perwira.

Daan Mogot gugur dalam pertempuran heroik Lengkong pada 25 Januari 1946. Ia meninggal karena terkena tembakan di dada, namun terus bertahan menembaki tentara Belanda demi menyelamatkan bawahannya. Pertempuran itu terjadi di wilayah Tangerang bagian selatan. Ia wafat dalam usia 17 tahun.

8. Jenderal Sudirman

Sudirman lahir di Bondas, Karangjati, Purbalingga pada 24 Januari 1916 dan menempuh pendidikan di Taman Siswa. Ia kemudian melanjutkan pendidikan ke HIK atau sekolah guru di Muhammadiyah di Solo, namun tak sampai tamat.

Jenderal Sudirman juga terus memimpin pasukan melawan Belanda meski menderita paru-paru. Pada usia 31 tahun, dia sudah menjadi jenderal. Awal pendudukan Jepang, Sudirman masuk menjadi tentara Peta dan menjadi Komandan Batalyon di Kroya.

Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk, Sudirman menjadi Panglima Angkatan Perang RI. Dia menjadi tokoh sentral saat terjadi agresi militer Belanda II, di mana Yogyakarta saat itu berhasil dikuasai Belanda. Sementara, Bung Karno dan Bung Hatta sedang ditawan Belanda.

Saat itu, Sudirman tetap melakukan perlawanan dengan perang gerilya, namun ia
akhirnya meninggal dunia dalam usia 34 tahun di Magelang, Jawa Tengah, pada 29 Januari 1950. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.

9. Andi Abdullah

Andi Abdullah Bau Massepe lahir pada 1929, yang merupakan putra dari Andi Mappanyukki dan Besse Bulo. Dia merupakan Ketua Umum Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) dan Koordinator perjuangan bersenjata bagi pemuda daerah Pare Pare.

Bau Massepe dikenal sebagai pejuang heroik dari Sulawesi Selatan. Ia menjadi panglima pertama Tentara Republik Indonesia (TRI) Divisi Hasanuddin dengan pangkat Letnan Jenderal.

Dia wafat dalam usia 18 tahun, saat bertempur melawan pasukan Belanda pada 2 Februari 1947, setelah ditahan 160 hari. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kota Pare-Pare.

10. Wahid Hasyim

KH Wahid Hasyim, yang lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 1 Juni 1914. Wahid Hasyim adalah putra dari KH Hasyim Asy’ari yang merupakan pendiri Nahdlatul Ulama (NU).

Ayah dari Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu merupakan salah seorang anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan pendiri Institut Agama Islam Negeri (IAIN)–yang sekarang lebih dikenal sebagai Universitas Islam Negeri (UIN).

Di BPUPKI, Wahid Hasyim menjadi tokoh termuda dari sembilan tokoh nasional yang ikut menandatangani Piagam Jakarta–cikal bakal Proklamasi dan Konstitusi. Pada kabinet pertama yang dibentuk Sukarno, dia diangkat menjadi menteri agama.

Pada 18 April 1953, kecelakaan menimpa Wahid Hasyim saat bepergian ke Sumedang, Jawa Barat, dalam rangka menghadiri rapat NU. Saat melintas di daerah Cimahi, kendaraan yang ia tumpangi ditabrak truk. Saat itu turun hujan lebat.

Wahid Hasyim sempat dirawat di RS Boromeus Bandung, namun dalam kondisi tak sadarkan diri. Keesokan harinya, 19 April 1953, dia meninggal dunia dalam usia 39 tahun.

11. Supriyadi (22)

Ia lahir pada 13 April 1923 di Trenggalek, Jawa Timur. Kehidupan masa mudanya dihabiskan dengan bersekolah di ELS setingkat SD saat ini milik pemerintah Belanda. Setelah lulus ia melanjutkan ke MULO yang setingkat SMP. Beberapa tahun berselang ia melanjutkan ke Sekolah Pamong Praja di Magelang.

Namun sayang ia tak semat lulus karena Jepang mulai menyerang negeri. Akhirnya ia dipaksa Jepang untuk mengikuti pelatihan Seimendoyo di Tangerang, Jawa Barat.

Supriyadi akhirnya bergabung dengan organisasi PETA ini dan diberi jabatan shondancho. Ia bertugas menjadi pemimpin gerakan ini di Blitar. Selain jadi pentolan PETA, ia juga bertugas menjadi pengawas romusha atau pekerja yang dipaksa membangun jalan, dan benteng di Blitar.

Melihat saudara sendiri yang selalu dipaksa, bahkan kadang tak diberi makan dengan layak hingga banyak yang mati, Supriyadi jadi geram. Akhirnya ia memutuskan untuk merencanakan sebuah gerakan pemberontakan. Tepatnya pada 14 Februari 1945, tentara PETA di Blitar memberontak.

Namun sayang, Jepang terlalu hebat dan pandai untuk dikelabuhi. Akhirnya banyak dari mereka yang ditangkap dan diadili. Beberapa dihukum mati dan yang lain di penjara. Saat persidangan berlangsung, Supriyadi tidak nampak. Ia hilang dan tidak ditemukan hingga sekarang.

12. Robert Wolter Monginsidi (24)

Robert Wolter Monginsidi lahir di Malalayang, Manado, Sulawesi Utara, 14 Februari 1925. Ia meninggal di Pacinang, Makassar, Sulawesi Selatan, pada 5 September 1949 dalam usia yang terhitung belia, 24 tahun.  Monginsidi merupakan seorang pejuang kemerdekaan Indonesia sekaligus pahlawan nasional tanah air kita. Berikut merupakan kisah patriotiknya yang menolak menyerah dan setia berjuang sampai akhir hayat.

R.W Monginsidi berjasa dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, pasukan sekutu, NICA (Netherlands Indies Civil Administration/Administrasi Sipil Hindia Belanda) kembali datang ke Indonesia untuk melakukan penyerangan.

Monginsidi bersama dengan para pemuda di Makassar membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) untuk melawan Belanda. Namun akhirnya dia ditangkap dan pada 5 September 1949 ia dieksekusi oleh tim penembak Belanda.

13. Radin Inten II (24)

Radin Inten II dengan Gelar Kesuma Ratu  lahir pada tahun 1834. Ia terkenal sebagai pemuda yang tangguh, cerdas, dan gagah berani menentang penjajah Belanda di tanah Lampung.

Radin Intan II resmi dinobatkan sebagai Ratu Lampung, pemimpin rakyat untuk memerangi kolonialisme pada usia yang bisa dibilang masih belbeliau, yakni pada usia 16 tahun. Beliau dilantik pada tahun 1850, dan setelahnya beliau langsung dihadapkan dengan serangan pihak Belanda beserta ratusan tentaranya di daerah Merambung, tempat Radin Intan menjalankan roda pemerintahan kerajaan. Dari beberapa kali serangan yang dilakukan Belanda, pasukan Radin Intan selalu dapat mengandaskannya.Radin Inten II memimpin berbagai serangan rakyat Lampung kepada Belanda. Berkali-kali ia melakukan perlawanan langsung, hingga gugur dalam perjuangan pada 5 Oktober 1858 dalam usia yang masih muda.

Namanya diabadikan sebagai nama sebuah Bandara dan nama perguruan tinggi IAIN di Lampung.

14. I Gusti Ngurah Rai (29)

I Gusti Ngurah Rai dilahirkan di Desa Carangsari, Kabupaten Badung, Bali, tanggal 30 Januari 1917.

Sejarah mencatat keberanian I Gusti Ngurah Rai memimpin Puputan Margarana merupakan salah satu perjuangan yang paling heroik di Bali. Bagaimana tidak, dengan kondisi pasukan yang tak berimbang, Ngurah Rai tetap berjuang hingga gugur di medan juang.

Puputan merupakan bahasa Bali yang berarti penghabisan. Rana berarti peperangan, dan Marga merupakan nama sebuah Desa yang terletak di Tabanan. Perang ini terjadi pada tanggal 20 November 1946 antara Pasukan Indonesia yang dipimpin Ngurah Rai melawan penjajah Belanda.

Pasukan Ngurah Rai hanya berjumlah 96 orang, sementara pasukan Belanda lebih dari 300 orang yang juga didukung dengan persenjataan modern di zamannya.