Moorissa Tjokro: Insinyur Autopilot Tesla Asal Indonesia

Sekolahnews.com – Beberapa tahun belakangan, produsen otomotif berlomba-lomba menciptakan mobil tanpa awak alias mobil autopilot. Meski demikian, fakta di lapangan menyatakan bahwa mobil-mobil tersebut masih semi autopilot, yang artinya pengemudi tetap harus memantau dan mengontrol mobilnya agar tidak mengalami masalah.

Tesla, salah satu produsen mobil listrik asal Amerika Serikat menjanjikan mobil dengan mode autopilot yang jauh lebih canggih. Dilansir dari Autoevolution, fitur autopilot keluaran Tesla ini diberi nama FSD (Full-Self Driving). Dalam pengembangannya FSD sudah masuk ke tahap beta, sehingga harus diuji coba lebih banyak lagi hingga bisa stabil dan dipasarkan.

Elon Musk, bos Tesla menjanjikan kalau FSD akan rilis pada akhir tahun 2020 ini. Sehingga orang-orang sudah bisa merasakan bagaimana canggihnya mobil listrik tanpa pengemudi bisa berjalan di area perkotaan tanpa adanya gangguan.

Tapi tau nggak? Ternyata ada sumbangsih insinyur muda dari Indonesia dalam pengembangan teknologi baru tersebut. Ia adalah Moorisa Tjokro. Ia adalah satu dari enam Autopilot Software Engineer di perusahaan Tesla, di California, Amerika Serikat. Yap, hanya ada enam perempuan yang bekerja dalam divisi ini.

Moorissa yang saat ini berusia 26 tahun mengakui profesi yang ditekuninya jarang diminati wanita. Belum lama ini dia dipercaya ikut menggarap fitur swakemudi atau Full-Self-Driving untuk mobil listrik Tesla.

“Sebagai Autopilot Software Engineer, bagian-bagian yang kita lakukan, mencakup computer vision, seperti gimana sih mobil itu (melihat) dan mendeteksi lingkungan di sekitar kita,” katanya seperti dikutip dari VOA Indonesia hari ini, Minggu, 20 Desember 2020.

Bekerja di Tesla sejak Desember 2018, sebelum dia dipercaya menjadi Autopilot Software Engineer. Tepatnya Moorissa didapuk oleh Tesla sebagai seorang Data Scientist yang juga menangani perangkat lunak mobil.

Perempuan kelahiran 1994 ini bertugas untuk mengevaluasi perangkat lunak autopilot serta menguji kinerja mobil sekaligus mencari cara untuk meningkatkan kinerjanya.

Moorissa mengaku bahwa proses penggarapan fitur ini “benar-benar susah” dan telah memakan jam kerja yang sangat panjang, khususnya untuk tim autopilot, mencapai 60-70 jam seminggu.
Prestasi Moorissa di dunia STEM (Sains, Teknologi, Teknik/Engineering, Matematika) memang tidak perlu dipertanyakan lagi. Tahun 2011, saat baru berusia 16 tahun, Moorissa mendapat beasiswa Wilson and Shannon Technology untuk kuliah di Seattle Central College.

Pada waktu itu ia tidak bisa langsung kuliah di institusi besar atau universitas di Amerika, yang memiliki persyaratan umur minimal 18 tahun. Tahun 2012, Moorissa yang telah memegang gelar Associate Degree atau D3 di bidang sains, lalu melanjutkan kuliah S1 jurusan Teknik Industri dan Statistik, di Georgia Institute of Technology di Atlanta.

Selain aktif berorganisasi di kampus, berbagai prestasi pun berhasil diraihnya, antara lain President’s Undergraduate Research Award dan nominasi Helen Grenga untuk insinyur perempuan terbaik di Georgia Tech. Tidak hanya itu, ia pun menjadi salah satu lulusan termuda di kampus, di umurnya yang baru 19 tahun, dengan predikat Summa Cum Laude.

Setelah lulus S1 dan bekerja selama dua tahun di perusahaan pemasaran dan periklanan, MarkeTeam, di Atlanta, pada 2016 Moorissa melanjutkan studi S2 Jurusan Data Science di Columbia University, New York.

Ia pun meraih juara 1 Columbia Annual Data Science Hackathon dan juara 1 Columbia Impact Hackathon. Menurut organisasi nirlaba American Association of University Women yang bertujuan memajukan kesejahteraan perempuan melalui advokasi, pendidikan, dan penelitian, jumlah perempuan yang bekerja di bidang STEM hanya 28 persen.
Untuk ke depannya, Moorissa bercita-cita untuk membangun yayasan yang bertujuan untuk memberantas kemiskinan di Indonesia.