Sistem zonasi dalam penerimaan siswa baru tingkat SMP maupun SMA, masih saja mengundang kontroversi. Penolakan terhadap sistem zonasi, bahkan tidak hanya datang dari kalangan orang tua siswa. Melainkan juga dari kalangan siswa itu sendiri.
Dikutip dari laman resmi berita Kemendikbud, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ( Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan, melalui zonasi pemerintah ingin melakukan reformasi sekolah secara menyeluruh. “Target kita bukan hanya pemerataan akses pada layanan pendidikan saja, tetapi juga pemerataan kualitas pendidikan,” ujar Mendikbud dalam kegiatan Sosialisasi Peraturan/Kebijakan Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 2018 (30/5/2018).
Zonasi merupakan salah satu strategi percepatan pemerataan pendidikan yang berkualitas, tambahnya. Menurut Mendikbud, kebijakan zonasi diambil sebagai respons atas terjadinya “kasta” dalam sistem pendidikan yang selama ini ada karena dilakukannya seleksi kualitas calon peserta didik dalam penerimaan peserta didik baru. “Tidak boleh ada favoritisme. Pola pikir ‘kastanisasi’ dan ‘favoritisme’ dalam pendidikan semacam itu harus kita ubah. Seleksi dalam zonasi dibolehkan hanya untuk penempatan (placement),” katanya.
“Salah satu enaknya
zonasi, sekarang seharusnya kepala dinas pendidikan sudah bisa membuat proyeksi
tentang kebutuhan siswa baru,” katanya. Ia juga meminta kerja sama pemerintah
daerah untuk mempercepat pemerataan pendidikan yang berkualitas, salah satunya
dengan melakukan penguatan peran guru dan peningkatan kualitas guru. “Jadi dari
MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah), MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran),
hingga KKG (Kelompok Kerja Guru), semua ada aturannya. Pembinaan guru akan
dikonsentrasikan ke situ. MKKS seharusnya punya domain dalam menentukan kuota masing-masing
sekolah,” tuturnya
Tapi pada kenyataannya
terjadi banyak masalah dalam penerapan sistem zonasi ini, antara lain:
- prioritas utama dalam pemeringkatan untuk sistem zonasi ini adalah dihitung dari jarak tempat tinggal ke sekolah, baru kemudian mempertimbangkan faktor lain seperti nilai Ujian Nasional, prestasi akademis maupun non akademis—bahkan mempertimbangkan juga siapa yang lebih dulu mendaftar. Dengan sistem ini maka prioritas siswa yang diterima di sekolah negeri adalah siswa yang jarak tempat tinggalnya terdekat dengan sekolah. Akibatnya siswa yang pandai bisa saja tersingkir dari persaingan karena letak rumahnya yang lebih jauh.
- mutu pendidikan antara satu sekolah dengan yang lain belum sama. Memang salah satu tujuan sistem zonasi ini adalah untuk memeratakan mutu pendidikan dan menghilangkan status sekolah favorit. Tapi saya rasa tidak semudah itu
- Minimnya sosialisasi pemerintah daerah ke sekolah-sekolah serta ke masyarakat, serta kurangnya perbaikan infrastruktur sekolah, menjadi sejumlah kendala dalam penerimaan murid baru berdasarkan sistem zonasi.
- Banyak sekolah yang tidak cukup menyediakan sarana dan prasarana yang baik sehingga belum mampu untuk menampung kebutuhan siswa dengan sistem zonasi.
- Tidak didukung data-data akurat, seperti distribusi demografi, seberapa banyak anak yang lulus di suatu wilayah atau zonasi, jumlah sekolah, termasuk daya tampung sekolah,
Melihat kondisi-kondisi diatas sebaiknya Kemendikbud kaji kembali penerapan Sistem Zonasi PPDB, sehingga tercipta suatu sistem pendidikan yang baik.