Rapid Test COVID-19 yang memberikan hasil ‘dalam hitungan menit’ akan dilakukan di negara-negara berkembang

Menurut pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada hari Senin (28/8) kemarin bahwa telah disetujui rencana rapid test diagnostik virus corona kepada 120 juta orang.

Bersama dengan para mitranya, WHO bertujuan untuk melaksanakan tes kepada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah bersama dengan negara-negara maju secara merata.

Edaran rapid test berbasis antigen ini dikeluarkan WHO minggu lalu akan menelan biaya sekitar Rp. 74.717,54 (€4.28).

Program yang akan menghabiskan sekitar Rp. 8,97 miliar (€ 513,9 juta) ini belum sepenuhnya didanai, tetapi sudah akan dilaksanakan awal bulan depan demi menyediakan akses untuk tes polymerase chain reaction (PCR) yang lebih luas akan area-area yang sulit dijangkau fasilitas medis seperti di negara maju.

Tes ini untuk mendeteksi protein antigen pada permukaan virus. Walaupun hasilnya kurang akurat, tetapi hasilnya akan keluar lebih cepat
dari tes genetik tingkat tinggi atau dikenal sebagai PCR.

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus optimis program tersebut menjadi “kabar baik” dalam memerangi COVID-19.

“Tes ini memberikan hasil yang dapat diandalkan dalam waktu sekitar 15 hingga 30 menit, bukan berjam-jam atau berhari-hari, dengan harga yang lebih rendah dengan peralatan yang kurang canggih,” katanya.

“Ini akan memperluas cakupan pengujian, terutama di daerah yang sulit dijangkau dan tidak memiliki fasilitas laboratorium atau petugas kesehatan terlatih untuk melakukan tes PCR.”

Dr Catharina Boehme, kepala eksekutif sebuah organisasi nirlaba bernama Foundation for Innovative New Diagnostics, mengatakan peluncuran akan dilakukan di 20 negara di Afrika dan akan bergantung pada dukungan dari organisasi seperti Clinton Health Access Initiative. Dia mengatakan fasilitas tes diagnosa ini akan disediakan oleh SD Biosensor dan Abbott.

Menurut Direktur Eksekutif Global Fund Peter Sands lembaganya akan menyalurkan dana Rp. 747 miliar (€ 42,8 juta) sebagai awal dari mekanisme respons COVID-19.

Banyak negara maju juga menghadapi masalah dalam melakukan tes yang akurat. Negara-negara seperti Prancis dan Amerika Serikat terkadang menghadapi hambatan saat menunggu hasil tes, bahkan di Inggris dan Spanyol pun, hasil yang didapat tidak selalu akurat.

Tetapi pengujian negara-negara miskin ini diharapkan dapat membantu petugas kesehatan mendapatkan pemahaman lebih baik tentang persebaran virus itu dengan harapan bisa dilakukan penangkalannya secara permanen.

Menurut Sands, saat ini negara-negara maju melakukan 292 tes per hari per 100.000 orang, sedangkan negara-negara berkembang melakukan 14 tes per hari per 100.000 orang.

Diharapkan bahwa peluncuran 120 juta tes ini akan menjadi “peningkatan besar-besaran”, walaupun ini masih kecil dibandingkan kebutuhan saat ini.

(Sumber: euronews.com)