Remaja Rohingya di Aceh ‘Bertaruh Nyawa’ demi Pendidikan

Sekolahnews.com — Gura Amin (19 tahun) merupakan salah satu pengungsi Rohingya yang terdampar di Provinsi Aceh.

Dia bertekad menempuh pendidikan tinggi, saat menumpang kapal dari kamp pengungsi di Bangladesh.

“Saya tidak tahu bagaimana saya bisa berada di sini,” kata Gura Amin, saat dia menceritakan perjalanan berbahaya yang dilaluinya di laut.

Gura mengaku menghabiskan tujuh bulan di laut, duduk di kapal.

Baca juga: Warga Inisiasi “Ruang Kembali Belajar”

“Saya tidak bisa meluruskan kaki, luar biasa sakit. Banyak yang kakinya bengkak dan banyak yang sekarat. Sedih, banyak yang menjadi lumpuh. Tidak ada air dan makanan selama berhari-hari. Kami seperti kerangka hidup,” paparnya kepada JN Joniad, wartawan Rohingya yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Pada Februari 2020, sebanyak 850 orang Rohingya menumpang sebuah kapal dari kamp pengungsian di Bangladesh. Namun, pihak penyelundup menyandera mereka demi uang tebusan selama hampir enam bulan di Laut Andaman. Kapal yang mereka tumpangi diikat ke pelampung di laut.

Bulan berikutnya, mereka berupaya mendarat di Malaysia dan Thailand, namun aparat kedua negara itu mendorong kapal mereka kembali ke laut. Pihak penyelundup lantas menempatkan mereka di beberapa perahu kecil.

Pada 8 Juni, tiga perahu tersebut mencapai Malaysia dan sekitar 300 orang Rohingya kini ditahan di sana.

Adapun kapal yang ditumpangi Gura Mia bersama 297 orang lainnya terdampar di Lhokseumawe, Aceh, pada September. Mereka bergabung dengan perahu pertama berisi 99 orang Rohingya yang diselamatkan nelayan setempat pada akhir Juni.

‘Apakah kami bisa bersekolah di Indonesia?’

Saat berada di tempat penampungan pengungsi Rohingya, wartawan JN Joniad mengatakan beberapa anak menghampirinya dan bertanya apakah dia adalah seorang Rohingya. JN Joniad berkata, “Ya adik kecil.”

Mereka kemudian bertanya lagi, “Pak, apakah kami bisa bersekolah di Indonesia?” Pertanyaan itu tak bisa dijawabnya.

Hasrat untuk mengenyam pendidikan juga dimiliki Gura Amin.

“Satu-satunya alasan saya mempertaruhkan nyawa dengan menyeberangi lautan adalah menemukan negara di mana saya bisa menempuh studi. Karena di negara saya sendiri, saya ditolak mendapat pendidikan,” kata Gura Amin.

Ketika pertama dijumpai, Gura masih memakai seragam sekolah Myanmar. Dia sempat belajar di sekolah menengah di Myanmar. Namun, sebagai pelajar Rohingya, dirinya mengaku menghadapi diskriminasi di sekolah.

Gura mengaku para guru dan sesama pelajar merundung dia dengan julukan yang merendahkan dirinya.

“Saya ingat seorang sahabat saya dipukul guru di kelas dan dia pingsan selama satu jam,” ujarnya.

Menurut Gura, letak sekolah dan desanya sangat jauh.

“Saya harus berjalan selama satu jam ke sekolah. Jika terlambat, para guru akan memukul saya,” katanya.

Pendidikan tinggi adalah kemewahan bagi komunitas Rohingya. Satu-satunya universitas yang bisa dimasuki orang Rohingya adalah Universitas Sittwe.

Wartawan JN Joniad sempat menjadi mahasiswa jurusan fisika di Universitas Sittwe. Namun, pada 2012, saat dia berada di tahun kedua sebagai mahasiswa, rangkaian kerusuhan etnis terjadi antara etnis Rakhine yang mayoritas beragama Buddha dan etnis Rohingya yang mayoritas Muslim.

Akibatnya dia dipulangkan dan sejak itu mahasiswa Rohingya tak lagi diperbolehkan mengenyam pendidikan di universitas tersebut.

Sempat hidup sebagai pengungsi di Bangladesh, Gura Amin berupaya bersekolah di negara itu. Namun, sekolah-sekolah di sana menolaknya karena dia tidak punya dokumen-dokumen yang memadai.

Gura lantas berinisiatif mengambil beragam kursus, seperti bahasa Inggris dan sains. Hasilnya tak mengecewakan. Di tempat penampungan di Aceh, Gura adalah satu-satunya yang bisa berbicara bahasa Inggris.

Dia kini belajar mandiri dan mengikuti pelatihan atau kursus yang ditawarkan UNHCR.

Gura Amin tidak sendirian. Ada sekitar 200 anak dan remaja di tempat penampungan di Aceh yang putus sekolah dan tidak mengenyam pendidikan formal.

“Saya merasa sedih ketika pertama melihat mereka,” kata Nur Aziza, seorang perempuan Rohingya yang telah hidup di Indonesia selama delapan tahun.

Lilianne Fan, selaku direktur Geutanyoe Foundation serta ketua Rohingya Working Group dari Jaringan Hak Pengungsi Asia Pasifik, mendorong negara-negara di kawasan untuk bekerja sama mengembangkan kerangka perlindungan.

“Dan untuk sementara memberikan hak-hak mendasar, seperti dokumentasi resmi, akses ke kesehatan dan pendidikan, sampai pengungsi Rohingya bisa kembali ke Negara Bagian Rakhine secara sukarela dengan selamat dan punya martabat,” ujarnya.

Baca juga: Memanfaatkan Radio untuk Belajar Jarak Jauh

Pemerintah Indonesia sendiri telah mengangkat topik Rohingya dalam pertemuan para menteri luar negeri negara-negara anggota ASEAN (AMM) September 2020 lalu, setelah Indonesia menerima dua kali rombongan orang Rohingya di Aceh pada 24 Juni dan 7 September.

Menlu Indonesia Retno Marsudi mengatakan RI telah menampung komunitas Rohingya secara sementara didasarkan pertimbangan kemanusiaan.

Selagi menunggu permasalahan itu bisa diselesaikan Myanmar dan negara-negara tetangga, Gura Mia masih optimistis.

“Jika saya diberi kesempatan menempuh studi di manapun di dunia, saya ingin menjadi ahli biologi untuk membantu menemukan vaksin dan menyelamatkan orang-orang pada masa pandemi seperti sekarang,” tutup Gura Mia.(bbc.com).