Review: West Side Story (2021)

‘West Side Story’ adalah ‘Jaws’nya musikal. Sampai sekarang, tidak ada yang mampu menghasilkan mahakarya seperti Steven Spielberg. Kalau anda cinephile sejati, anda pasti akan terpukau dengan film ini. Bisa dibilang adapatasi ini persis seperti yang Spielberg inginkan.  Ini pulalah yang berhasil dicapai film-film musikal terbaik sepanjang masa, seperti ‘Mary Poppins’, ‘Sound of Music’ dan ‘My Fair Lady’. Tapi yang menarik dari ‘West Side Story’ ialah meskipun anda memasuki era 60an, beberapa hal yang ditampilkan masih terasa relevan dengan kehidupan sekarang.  

Trailernya bisa dibilang tidak menarik banyak minat  dan promosinya juga kurang agresif. Entah apa yang terjadi dengan kampanye film belakangan ini. Diharapkan promosi mulut ke mulut lebih efektif membawa publik ke bioskop. 

Ada 2 elemen promosi film ini yang perlu dibahas:  

  1. Kenapa harus menambahkan elemen baru dalam adaptasi film? padahal industri hiburan saat itu sering mengasingkan elemen budaya tertentu, maka sekarang, Spielberg dan penulis naskah Tony Kushner memasukkan kembali elemen-elemen tersebut. Ini bisa dibilang adaptasi pementasan Broadway ini lebih otentik dibanding versi film tahun 1961. Tidak hanya para aktor di film ini yang lebih beragam etniknya, tapi topik yang ditonjolkan juga lebih sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan Stephen Sondheim dan Arthur Laurents, penulis asli drama ini, Sondheim dan Laurents tidak mendapat cukup pujian dari beragam karakter yang dihadirkan di pementasan tersebut. Dunia memiliki beragam budaya, hanya saja saat itu, aspek-aspek tersebut selalu dikesampingkan dan dilupakan industri hiburan. Yang juga patut menjadi perhatian adalah industri hiburan dan buku sejarah seringkali memberikan pandangan sempit akan masa lalu.
  2. Ini bukan replika dari film 1961, walaupun trailernya memberi kesan serupa. Tidak hanya lagu-lagunya ditulis dan dirangkai ulang, tapi juga lokasi latar cerita ini dirombak habis. Di film ini, lingkungan West Side dan kehidupan para penduduknya ditampilkan lebih otentik dan realistis, semua berkat kontribusi Spielberg, Kushner, mendiang Sondheim, sinematografer Janusz Kaminski, konduktor Gustavo Dudamel dan koreografer Justin Peck, 6 legenda dibalik layar yang mempelopori ini.

Semua ini tidak akan sukses kalau aktornya pun juga tidak mengimbangi. Muda-mudi berbakat ini akan menjadi calon bintang. Mike Faist memberi penampilan elektrik sebagai Riff. David Alvarez sangat memana sebagai Bernardo yang ambisius tapi juga emosional, panutan bagi sekitar tapi juga cerminan tragedi yang mendera lingkungannya. Ariana DeBose juga tidak kalah mencuri hati sebagai Anita. Ketiga aktor ini adalah seniman profesional. Kepiawaian mereka mengimbangi adegan menari, akting dan menyanyi sangat langka, khususnya dalam film, karena itu aktor teater seringkali kesulitan mendapat peran film karena terbiasa tidak menjadi sorotan ketika tampil.Semua bakat ini mampu menghidupkan karakter-karakter kompleks dipenuhi amarah, kekecewaan dan benci, tapi juga simpatik dan menarik.

Sayangnya, Tony dan Maria (diperankan Ansel Elgort dan Rachel Zegler) kurang meyakinkan sebagai Romeo dan Julietnya film ini. Walaupun sebagai sejoli mereka tidak mencuri perhatian dibanding Bernardo dan Anita, Elgort memberi daya tarik tersendiri pada Tony, membuat hubungannya dengan Maria liar dan berbahaya. Zegler kurang mempesona dengan perannya, naskahnya sendiri tidak menganggap Maria sendiri sebagai karakter, lebih kepada persepsi Tony dan Bernardo terhadapnya. Terlepas dari itu, Elgort dan Zegler memiliki suara merdu. Ini dapat dibuktikan dari adegan mereka saat tidak bersama.

Bryan D’arcy James dan Corey Stoll punya peran kecil sebagai karakter stereotype film 60an, Opsir Krupke dan Letnan Schrank. Josh Andre Rivera perlahan mencuri perhatian sebagai Chino, Rivera memberi warna tersendiri dengan durasinya yang singkat.