8 Fakta Ilmiah Terbaru Terkait Omicron

Sekolahnews.com – Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Prof. Wiku Adisasmito mengungkap sejumlah fakta ilmiah terkini terkait varian Omicron yang sudah dipublikasikan oleh para ahli.

Pertama, World Health Organization (WHO) merangkum varian Omicron menyebabkan kenaikan kasus yang lebih tinggi dibandingkan varian Delta dikarenakan lebih mudah menular. Penyebabnya varian Omicron memiliki tingkat mutasi tinggi yang mempengaruhi kemampuannya dalam menginfeksi tubuh. Mencegah penularan sejak level individu adalah cara terbaik untuk mencegah lonjakan kasus.

Kedua, masa inkubasi atau munculnya gejala sejak pertama kali terpapar virus cenderung lebih cepat daripada varian lain. Berdasarkan data awal seperti publikasi Brandal, L. T., dkk., 2021 dan rilis CDC, median masa inkubasi varian Omicron cenderung lebih singkat dibanding varian sebelumnya.

Ketiga, studi terbatas di Norwegia serta rilis technical briefing dari Inggris menyebutkan gejala pada varian Omicron tidak spesifik namun disinyalir lebih ringan. Terutama pada kelompok yang sudah memiliki kekebalan. WHO dan CDC merekomendasikan tindakan preventif sebagai upaya kunci sebab pada kelompok rentan masih dapat menyebabkan gejala yang parah bahkan kematian.

Keempat, beberapa hasil studi terbaru termasuk publikasi Lewnard, J. A., dkk., 2022, serta studi di Denmark, Afrika Selatan, Inggris, Kanada, dan Amerika Serikat menyebutkan angka rawat inap di rumah sakit lebih rendah dibandingkan varian Delta. Namun, meskipun kasus Omicron dianggap tidak akan banyak memerlukan perawatan intensif, tetapi jika kasus naik tinggi terus menerus akan membebani sistem kesehatan secara nasional akibat permintaan pelayanan di rumah sakit ikut meningkat. Terlebih pula tingginya penularan dapat menempatkan populasi rentan dalam situasi yang lebih berisiko.

Kelima, varian Omicron dapat menular pada orang yang pernah terinfeksi sebelumnya. Karena diprediksi dapat menghindari kekebalan yang telah terbentuk akibat varian lainnya. WHO dalam rilisnya menyebutkan fenomena ini telah teramati dari hasil studi di Afrika Selatan, Denmark, Israel, dan Inggris. Karenanha, bagi yang pernah terinfeksi tidak boleh abai protokol kesehatan dan harus tetap divaksin sesuai prosedur yang telah ditetapkan Kementerian Kesehatan.

Keenam, sejauh ini varian Omicron masih terdeteksi dengan alat diagnostik RT-PCR maupun alat diagnostik cepat rapid antigen. Meskipun demikian, hingga saat ini sensitivitas rapid antigen masih terus ditelaah, seperti hasil studi terbatas Adamson, R., dkk., 2022. Oleh sebab itu, orang dengan hasil rapid antigen negatif, terutama yang bergejala dan kontak erat, disarankan melakukan tes PCR dan isolasi mandiri.

Ketujuh, berbagai studi yang dirangkum oleh WHO menyebutkan bahwa vaksin berkurang efektivitasnya, namun masih banyak berperan dalam mencegah keparahan gejala dan kematian. Diketahui pula bahwa infeksi varian COVID-19 akan lebih efektif dicegah dengan vaksinasi booster. Selain itu, imunitas seluler (non antibodi) masih memproteksi kuat terhadap varian Omicron hingga 70-80%. Imunitas seluler terbentuk baik pada orang yang pernah tertular maupun yang sudah divaksin.

Kedelapan, WHO menyebutkan tidak ada dampak signifikan pada efektivitas pengobatan yang sudah dipakai untuk menangani kasus COVID-19 saat ini. Obat yang dipakai untuk varian sebelumnya masih efektif digunakan untuk Omicron.(kalderanews.com).