Cerita Sri Melati, Awardee LPDP Tunanetra di Kampus Terbaik London

Sekolahnews.com – Sri Melati sedang bertugas sebagai dokter di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT) ketika penyakit tuberkulosis (TBC) merenggut penglihatannya. Lalu, bagaimana ia kelak bisa di kampus terbaik London, Inggris dengan beasiswa LPDP?
Imel, begitu Sri Melati akrab disapa, semula menyelesaikan studi dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU), Medan pada 2009. Ia pun bertugas di Alor selama 2010-2011.

Namun pada 2011, ia merasa ada yang salah di kepalanya. Pemeriksaan medis menunjukkan Imel ternyata menderita tuberkulosis (TBC) di otak dan memicu meningitis. Virus TBC menggerogoti sistem syaraf dalam kepala hingga Imel harus dioperasi dan koma selama 3 minggu.

Saat terbangun, Imel mendapati mata kirinya buta total. Sedangkan mata kanannya mengalami tunnel vision, kondisi penglihatan terbatas seperti melihat seberkas cahaya dari layar gawai dan membaca terbatas.

Kisah Sri Melati, Awardee LPDP di Inggris dengan Disabilitas Netra
Mengalami kebutaan di usia dewasa sebagai dokter pertama dan satu-satunya di lingkup keluarga besar tidak mudah bagi Imel maupun keluarga.

Terlebih, setelah koma, separuh badan Imel mengalami kelumpuhan. Di fase ini, ia lebih banyak di ranjang, merasa sedih dan terpuruk. Di samping konsumsi obat, ia juga menjalani pengobatan alternatif, orang pintar, sampai pengobatan ke Singapura demi sembuh.

“Berat bagi keluarga menerima (kondisi disabilitas netra), berat bagi saya,” tutur Imel, dikutip dari laman LPDP Kemenkeu, Selasa (18/7/2023).

Di Singapura, dokter memberi Imel tongkat untuk belajar berjalan. Ia juga disarankan berkumpul dengan teman-teman tunanetra lainnya. Titik ini membuat keluarganya menapaki kenyataan bahwa Imel ini adalah penyandang disabilitas netra.

Peluang Mengabdi sebagai Guru Luar Biasa
Selang lima tahun, Imel berkumpul di Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) cabang Medan. Persatuan ini mempertemukan ia dengan Linda, seorang tunanetra lulusan sarjana yang membuka penitipan bagi anak-anak difabel.

Kendati tak terbayang akan bergabung di persatuan ini, Imel mendapati dirinya tertarik untuk menjadi guru bagi difabel. Bayangan bahwa tunanetra hanya dapat menjadi tukang pijat dan penyanyi pun memudar.

Bersama Linda dan teman-teman tunanetra, Imel merintis pendirian Sekolah Luar Biasa Ganda (SLBG) pada 2016.

“Di sini saya ketemu teman-teman luar biasa, para penyandang disabilitas yang tidak umum. Karena kita sudah mau bergerak, memulai sendiri,” tuturnya.

Ia dan teman-temannya pun belajar dan berupaya memahami tantangan para disabilitas. Kegiatan belajar mengajar dan aktivitas sekolah kelak mulai berjalan pada 2017. Selang dua tahun, mereka mendirikan Yayasan Dwituna Harapan Baru.

Kuliah di Universitas Terbaik London dengan Beasiswa LPDP
Menyelami dunia pendidikan disabilitas, Imel tergerak menempuh pendidikan tinggi yang relevan dengan anak berkebutuhan khusus (ABK). Ia pun belajar bahasa Inggris di Bali pada 2018 untuk memperoleh beasiswa LPDP. Di pertengahan 2019, ia mendaftar Beasiswa LPDP Program Beasiswa Afirmasi untuk Disabilitas.

Imel diterima di University College London (UCL), program Special and Inclusive Education pilihannya pada 2019 dengan Beasiswa LPDP. Berdasarkan pemeringkatan QS World University Rankings (WUR) 2024, kampus di Inggris Raya ini masuk Top 10 universitas terbaik dunia.

Tidak mudah baginya untuk studi daring di awal pandemi. Kendati kemudian terbang ke London, ia pun harus menjalani lockdown dan tetap berkuliah online.

“Jadi saya berangkat ke Inggris Januari 2021. Saya sampai di sana tanggal 3 Januari, tanggal 4 lockdown. Saya ketawa sama teman yang sama-sama berangkat kesana. Kita lolos,” kisahnya.

Kembali dan Mengabdi di Tanah Air
Ilmu selama berkuliah di luar negeri kemudian dituangkan Imel untuk pengembangan di Yayasan Dwituna Harapan Baru. Yayasannya memberikan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus dengan disabilitas ganda, khususnya bagi anak-anak Multiple Disability with Visual Impairment (MDVI) atau disabilitas ganda dengan kehilangan penglihatan. Sederhananya, semua murid di yayasan Imel adalah anak tunanetra dengan disabilitas tambahan.

Imel menuturkan, ia bertugas mengembangkan dan menyosialisasikan pendidikan bagi para disabilitas. Fokusnya yakni mengenalkan apa itu disabilitas, pendidikan inklusif dan penerapannya oleh warga sendiri.

Baginya, perjalanan menempuh pendidikan hingga mendukung pendidikan inklusif sudah membuka jalan baru dan cahaya kehidupan baru.

“Now I can say that I have no regret for being blind. And I’m proud of myself, proud of what I’m doing now,” pungkas Sri Melati.(detik.com).