Tahukah Anda Asal Mula Perayaan HUT RI?

Sekolahnews.com – Bulan Agustus identik dengan kegiatan karnaval, menghias kampung, aktivitas perlombaan, pentas seni hingga pengibaran bendera Merah Putih.
Pada bulan tersebut tepatnya tanggal 17 Agustus, seluruh rakyat Indonesia merayakan hari jadi kemerdekaan. Namun, tahukah Anda asal muasal beragam kegiatan dalam rangka memperingati hari ulang tahun (HUT) kemerdekaan Republik Indonesia (RI) tersebut?
Bocah 5 tahun tersebut tersenyum riang. Rambut dan sebagian bajunya basah kena percikan air di kantong plastik yang baru saja dipecahkannya. Kaka Dut, demikian panggilan bocah tersebut, baru saja menuntaskan tantangan lomba pecah air yang digelar di kampungnya, di Perum Ketileng Indah RT 4 RW 13, Sendangmulyo, Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah.
“Yes menang, nanti dapat hadiah,” ujar dia,
Di kampung Kaka, tiap bulan Agustus selalu ada lomba-lomba untuk anak, remaja dan orang tua. Juga menghias kampung seperti mengecat marka jalan, mengecat ulang gapura, memasang umbul-umbul dan bendera dan puncaknya, malam tirakat dan pentas seni adalah hal jamak yang biasa dilakukan warga.
“Tiap tahun ya diisi kegiatan-kegiatan itu, bedanya mungkin hanya di variasi lomba saja. Dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan RI, lewat lomba-lomba kami ingin mewariskan semangat perjuangan para pahlawan dalam memerdekakan bangsa ini ke generasi penerus,” ujar Ketua RT 4 RW 13, Ketileng Indah, Hartono.
Pegiat sejarah Rukardi menyatakan gegap gempita perayaan kemerdekaan digelar seantero negeri sejak proklamasi dikumandangkan 17 Agustus 1945. Hanya saja, kurun waktu 1945 sampai 1949, di masa sekutu masih mencengkeram kuat, banyak perayaan dilakukan secara sembunyi.
Rukardi mencatat, tepat sehari setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan Soekarno-Hatta, ratusan orang melakukan arak-arakan di Jalan Pegangsaan Timur. Dipimpin seorang pemuda yang mengenakan celana pendek dan bertopi. Ia membawa tongkat yang di pucuknya terikat sang Dwi Warna. Sebuah kain bertuliskan ‘Sekali merdeka, tetap merdeka!’ membentang beberapa meter di belakang pemuda tersebut.
Di halaman rumah bernomor 56, arak-arakan disambut dengan hormat oleh sang Proklamator, Soekarno. “Arak-arakan yang direkam Alex atau Frans Mendur pada Sabtu, 18 Agustus 1945 itu bentuk perayaaan kemerdekaan Indonesia,” jelas aktivis sejarah asal Semarang ini.
Pada masa kemudian, arak-arakan menjadi semacam acara wajib dalam setiap perayaan ulang tahun kemerdekaan. Wujudnya lebih tertata dalam format defile pasukan dan pawai umum di jalanan. Namun tidak serta merta ada setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Acara-acara perayaan muncul pada setahun kemudian.
Perayaan Kemerdekaan di Kantong Republik
Penelusuran Rukardi, Majalah Pantja Raja, 1 September 1946, seperti dikutip Pramoedya Ananta Toer dalam Kronik Revolusi Indonesia II, menggambarkan peringatan pertama kemerdekaan dirayakan dengan meriah oleh segenap lapisan dan golongan penduduk Indonesia. Rumah-rumah dan gedung dihias dengan janur kuning dan rupa-rupa dedaunan. Di luar daerah kantong Republik, perayaan dilakukan lebih sederhana akibat larangan Tentara Sekutu.
Di Yogyakarta, satu tahun Republik Indonesia diperingati besar-besaran. Ketua panitia, yang juga Sekretaris Negara Mr. A.G. Pringgodigdo mempersiapkan rangkaian acara dengan seksama. Selain upacara, juga digelar parade tentara dan laskar di Alun-alun Utara, serta resepsi di Istana Negara. Upacara dihadiri Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Pakualam VIII, Paku Buwono XII, Mangkunegara VIII, Panglima Besar Jenderal Sudirman, dan sekitar 500 tamu undangan.
“Seperti dilaporkan Kedaulatan Rakjat, tepat pada detik-detik proklamasi, sirine dibunyikan selama satu menit untuk mengheningkan cipta. Sore hari ribuan orang berkumpul di Alun-alun Utara untuk melihat parade,” papar dia.
Masih di Yogyakarta, peringatan satu tahun RI juga ditandai dengan peresmian Bank Negara Indonesia, pembukaan hubungan radio telefoni antara Jawa dengan Sumatera, peresmian jembatan, serta pemberian santunan kepada fakir miskin dan para pejuang di front terdepan. Perayaan makin meriah dengan adanya pameran pertanian dan perburuhan di kantor Gasbi, pemutaran film peringatan proklamasi kemerdekaan di gedung bioskop Indra dan pameran kedirgantaraan oleh Angkatan Udara di Hotel Tugu.
Di Kedu, perayaan satu tahun kemerdekaan juga dilakukan dengan kegiatan sejenis. Perlombaan olahraga, pameran lukisan, pemutaran film, pentas sandiwara, nyanyian, ketoprak dan lain-lain. “Saat itu, pemerintah republik setempat bersama warga juga membangun gapura-gapura di penjuru kota. Mereka juga memperbaiki rumah-rumah, warung, dan hotel,” kata dia.
Perayaan Kemerdekaan di Luar Kantong Republik
Di luar kantong Republik, lanjut Rukardi, peringatan kemerdekaan pada 17 Agustus 1946 berlangsung dalam suasana mencekam. Di Jakarta misalnya, polisi dan tentara Inggris berusaha menghalangi orang-orang yang hendak mengikuti perayaan di rumah Menteri Luar Negeri Sutan Sjahrir. Namun upaya itu tak berhasil. Warga, termasuk rombongan pelajar putri yang dipimpin Menteri Sosial Maria Ulfah Santoso berhasil masuk. Esoknya, mereka bahkan meresmikan Tugu Peringatan Satoe Tahoen Republik Indonesia di Pegangsaan Timur 56.
Di Kota Semarang, warga tak mau mengambil risiko. Mereka mengibarkan bendera Merah Putih secara sembunyi-sembunyi lantaran takut dengan ancaman tentara Sekutu. Pengakuan Hoeri Prasetyo, mantan anggota Barisan Pemberontak Republik Indonesia (Bapri) dan Angkatan Pelajar Indonesia (API) menguatkan paparan Rukardi.
“Pak Hoeri itu pelaku Pertempuran Lima Hari di Semarang. Beliau menyampaikan, di luar garis demarkasi seperti di Rowosari orang masih umpet-umpetan mengibarkan bendera Merah Putih,” ucap Rukardi.
“Sedangkan di Bandung, peringatan dilakukan para gerilyawan di medan pertempuran. Mereka menaikkan bendera merah putih di daerah-daerah yang dikuasai. Untuk menyaingi, pada hari yang sama, Sekutu menggelar peringatan penyerahan Jepang kepada mereka di tengah kota,” sambung dia.
Peringatan HUT RI pertama juga digelar di New York. Inisiatornya Perserikatan Indonesia yang diketuai John Ando. Dalam perayaan itu, John membacakan surat Sjahrir kepada Presiden Truman. Dalam kesempatan itu, John mengecam tindakan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat yang menyembunyikan surat itu.
Perayaan Kemerdekaan Setelah 1949
Peringatan HUT RI dalam suasana darurat terus berlangsung hingga 1949. Kebebasan perayaan kemerdekaan baru terjadi pascapenyerahan kedaulatan RI pada 1949. Seperti aliran air yang tidak lagi tersumbat, masyarakat memperingati HUT Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1950 dengan gegap-gempita.
Di Semarang, perayaan dilakukan selama empat hari, mulai tanggal 16 hingga 19 Agustus, dengan agenda acara yang padat. “Suara Merdeka edisi 16 Agustus 1950 menyajikan agenda tersebut secara lengkap, mulai dari rapat umum, pemutaran film, doa dan ibadah bersama, renungan, aneka lomba, pentas seni, pemberian santunan, pawai, resepsi, peresmian taman makam pahlawan, penerbangan pesawat Garuda Indonesia di langit kota, hingga pemakaman kembali 17 jenazah pelaku Pertempuran Lima Hari di Semarang,” papar dia.
Menurut Rukardi, perayaan dalam bentuk rapat umum diawali uraian kisah perjuangan kemerdekaan selama lima tahun, serta sambutan perwakilan pemerintah, buruh, tani, pemuda, dan wanita. Pukul 9.50 Wib, sirine, beduk, lonceng, peluit kereta api dibunyikan untuk mengenang detik-detik proklamasi. Dilanjutkan pembacaan teks proklamasi, mengheningkan cipta, dan pengibaran bendera diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Sedangkan perlombaan meliputi sepak bola ketentaraan seluruh Jawa Tengah di Stadion, lomba dayung dan layar di pelabuhan, serta lomba estafet, mengarang, dan menggambar antarsiswa sekolah lanjutan. Ada juga lomba menghias etalase toko, kendaraan, dan gapura. Ada pula lomba pukul bantal di atas bambu yang dibentangkan di tengah Kali Semarang.
“Dan perayaan kala itu juga sudah menggambarkan keragaman dan kerukunan masyarakat Semarang. Banyak warga keturunan Tionghoa turut langsung di pawai yang digelar di Jalan Pemuda atau saat itu bernama Jalan Bodjongstraat. Mereka memainkan kesenian liong samsi dan barongsai,” jelas dia
“Bentuk perayaan 17 Agustus tersebut sangat mungkin mengadaptasi perayaan masa kolonial, terutama ulang tahun Ratu dan hari kemerdekaan Belanda. Namun, dari sisi semangat keduanya saling berlawanan,” tambahnya.(tagar.id).