Belajar “Speaking” Melalui Teknologi ASR Berbasis Folklor Lokal

Sekolahnews.com – INDEKS kecakapan berbahasa Inggris atau English Proficiency Index 2022 yang baru-baru ini dirilis lembaga Education First (EF) menunjukkan bahwa kecakapan berbahasa Inggris masyarakat Indonesia tergolong rendah (low proficiency). Dengan skor 469, Indonesia menempati peringkat ke 81 dari 111 negara yang disurvei.

Di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Indonesia jauh tertinggal dari Singapura yang sudah mencapai kategori very high proficiency, Filipina (high proficiency), dan Malaysia (high proficiency). Bahkan, Indonesia juga berada sembilan peringkat di bawah Sri Lanka dan hanya selisih sedikit di atas Ekuador dan Suriah.

Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan, mengingat kecakapan berbahasa Inggris, terutama keterampilan berbicara (speaking skill), adalah salah satu soft-skill yang sangat diperlukan pada era global sekarang dan masa mendatang.

Selain itu, terdapat korelasi positif dan signifikan antara status/level kecakapan berbahasa Inggris di suatu negara dan 8 indeks pembangunan negara, antara lain economic Human Capital Index (HCI) (van Hout & van der Slik, 2022), Productivity Capacities Index (PCI), Global Talent Competitiveness Index (GTCI), Global Innovation Index (GII), Global Social Mobility Index (GSMI), Gender (In)equality Index (GII), Environmental Performance Index (EPI), dan Global Freedom Scores (GFS) (Education First, 2021).

Adapun salah satu penyebab rendahnya performa dan kualitas speaking pembelajar bahasa Inggris di Indonesia adalah adanya fenomena foreign language speaking anxiety atau kecemasan (ansietas) berbicara dalam bahasa asing.

Anxiety atau kecemasan (ansietas) adalah satu dari sekian domain emosi negatif dalam ranah psikologi. Hal ini diperkuat dengan dua studi meta-analisis yang dilakukan oleh Teimouri dkk. (2019) dan Botes dkk. (2020).

Dua studi meta-analisis tersebut mengemukakan bahwa ansietas memiliki peranan negatif berupa debilitating effect (efek melemahkan) terhadap pencapaian dan perkembangan kompetensi berbicara bahasa Inggris dari para pembelajar di berbagai belahan dunia.

Selain itu, studi yang dilakukan oleh Bashori dkk. (2020) juga mengungkapkan bahwa level ansietas berbicara bahasa Inggris di tingkat pelajar sekolah menengah atas/kejuruan di Indonesia masih relatif tinggi.

Berbagai upaya untuk meminimalkan keberadaan ansietas berbicara bahasa asing dalam diri pembelajar telah banyak dilakukan oleh para peneliti dan pendidik. Salah satunya adalah melalui integrasi teknologi dan internet, mulai dari Podcast (Korucu-Kis & Sanal, 2020), TedTalks (Arifin dkk., 2020), WhatsApp (Shamsi dkk., 2019), Interactive Holographic Learning Support System (Chen, 2018), dan Automatic Speech Recognition atau ASR (Bashori dkk., 2020; Ross dkk., 2019).

Teknologi dipandang efektif dalam pembelajaran bahasa asing, termasuk bahasa Inggris, mengingat ‘pembelajar hari ini’ (today’s learners) merupakan bagian dari Generasi Z atau Net Generation (González-Lloret & Ortega, 2014).

Teknologi seperti Automatic Speech Recognition atau ASR merupakan teknologi yang menjanjikan. Ross dkk. (2019) melalui penelitian yang telah mereka lakukan mengungkapkan bahwa teknologi ASR (khususnya Web Speech API) yang diterapkan melalui website, selain bisa membantu mengurangi ansietas berbicara bahasa asing, juga dapat digunakan oleh pendidik untuk membuat waktu belajar di kelas lebih efektif dan efisien, dan mendorong pembelajar lebih percaya diri ketika berbicara.

Namun, sayangnya, belum banyak riset di Indonesia yang secara khusus membahas penerapan dan keefektifan teknologi ASR dalam pembelajaran bahasa Inggris. Secara sederhana, teknologi ASR adalah sistem yang dapat mengonversi human speech menjadi readable text, yang biasanya diiringi pemberian immediate feedback.

Immediate feedback dalam proses pembelajaran, khususnya ketika sesi speaking, sangat penting untuk mengevaluasi performa siswa. Sayangnya para guru bahasa Inggris di sekolah-sekolah seringkali ‘kewalahan’ untuk memberikan feedback individual kepada setiap siswa, mengingat jumlah siswa yang banyak.

Umumnya tipe kelas di Indonesia adalah kelas ‘besar’, di mana dalam satu ruang kelas berisi lebih dari 25 atau 30 siswa. Kondisi tersebut tentu saja tidak ideal untuk proses pembelajaran berbicara bahasa Inggris. Apple’s Siri, Amazon’s Alexa, dan Google Assistant adalah beberapa contoh bentuk teknologi ASR.

Penulis secara spesifik mengajukan Web Speech API sebagai basis penerapan teknologi ASR ke dalam website pembelajaran, yang nantinya dapat diakses melalui browser Chrome, Safari dan Firefox, baik ketika di dalam maupun di luar kegiatan intrakurikuler di sekolah, dan dapat dimonitor secara langsung oleh guru atau fasilitator pembelajaran.

Juga, untuk membantu mewujudkan pendidikan yang inklusif dan mempermudah akses bagi penyandang disabilitas (terutama tunanetra), website berbasis ASR ini akan menerapkan text-to-speech technology. Di sisi lain, Penulis juga memiliki kekhawatiran tersendiri terhadap semakin memudarnya pengetahuan dan kecintaan pelajar terhadap kebudayaan lokal di Indonesia, misalnya cerita rakyat atau folklor lokal.

Dari observasi lapangan yang Penulis lakukan di kelas IX SMP dan X SMK di Jawa Tengah, tidak lebih dari 10 persen pelajar yang disurvei mengetahui cerita rakyat lokal di daerah mereka. Hal ini sangat kontras ketika para pelajar tersebut ditanya mengenai cerita luar negeri seperti Cinderella, Snow White, dan lain-lain.

Kebanyakan dari mereka mengetahui, atau paling tidak pernah mendengar cerita tersebut. Apabila situasi ini berlangsung secara kontinyu, bukan tidak mungkin pendidikan karakter cinta budaya yang telah diinisiasi secara apik oleh Pemerintah akan mengalami jalan buntu dan berakhir dengan kegagalan.

Kegagalan internalisasi pendidikan karakter cinta budaya tersebut dikhawatirkan dapat memicu tumbuhnya generasi muda Indonesia yang semakin merasa asing dengan kebudayaan lokal mereka sendiri. Melihat dua aspek di atas, Penulis meyakini bahwa integrasi teknologi ASR berbasis folklor lokal sangat diperlukan bagi para pembelajar bahasa Inggris di Indonesia saat ini. Dengan dasar inilah, Penulis kemudian melakukan pilot project sederhana kepada 146 peserta didik kelas X di salah satu SMK.

Sebuah website pembelajaran sederhana berbasis ASR dengan materi kebudayaan lokal, yaitu folklor Malin Kundang dari Sumatera Barat, dikembangkan. Hasilnya sebagian besar peserta didik (n=102) mengatakan bahwa mereka menyukai belajar bahasa Inggris menggunakan website berbasis ASR. Sebanyak 77 persen peserta didik juga mengemukakan bahwa fitur speaking yang menggunakan ASR membantu mereka dalam mengurangi ansietas ketika berbicara bahasa Inggris, dibandingkan berbicara langsung kepada teman, guru, dan orang lain.

Ketika ditanya seputar penggunaan materi kebudayaan lokal cerita Malin Kundang, 70 persen peserta didik mengungkapkan bahwa materi cerita lokal membuat mereka lebih rileks dan tidak gugup atau cemas (ansietas berkurang) selama kegiatan pembelajaran berlangsung.

Selain itu, 115 peserta didik menambahkan bahwa cerita lokal dapat meningkatkan rasa cinta dan bangga mereka terhadap karya sastra Indonesia. Sebanyak 82 persen total peserta didik yang berpartisipasi dalam pilot project ini juga menyebutkan bahwa cerita lokal mengandung pesan moral yang dapat mereka terapkan dalam kehidupan nyata.

Sebagai data pendukung tambahan, Penulis juga melakukan in-depth interview kepada 12 peserta didik yang telah mengikuti pilot project dari awal hingga akhir. Salah satu peserta didik yang level ansietas berbicaranya berhasil berkurang (dari rata-rata 4.0 atau ansietas tinggi menjadi 2.1 atau ansietas rendah), yaitu Partisipan NHS, mengungkapkan:

“Efek positifnya adalah saya tidak gugup ketika bicara (bahasa Inggris). (Berlatih berbicara melalui website berbasis ASR juga) benar-benar menambah (kepercayaan diri saya), (misalnya) ketika kegiatan belajar (di kelas regular), ketika diminta untuk maju ke depan (kelas) untuk membaca teks (bahasa Inggris), saya merasa tidak gugup dan saya bisa.”

Secara umum, 12 peserta didik yang diwawancarai merasakan pengalaman positif ketika menggunakan website berbasis ASR untuk belajar berbicara bahasa Inggris. Temuan ini menjadikan Penulis semakin yakin untuk berlatih berbicara bahasa Inggris, pada tahap awal atau initial stage, para pembelajar dapat mulai berlatih terlebih dahulu dengan menggunakan website berbasis ASR.

Setelah ansietasnya berkurang dan kepercayaan dirinya bertambah, dapat dipraktikkan dengan teman sebaya, guru, atau bahkan penutur asli atau native speaker. Tantangan ke depan adalah bagaimana agar teknologi ASR berbasis folklor lokal ini bisa diadopsi dan/atau diadaptasi oleh Pemerintah sebagai perwujudan pendidikan formal-digital di Indonesia, khususnya dalam ranah peningkatan keterampilan speaking pada mata pelajaran bahasa Inggris.

Untuk merealisasikan gagasan ini, Penulis mengusulkan proses adopsi-adaptasi teknologi ASR berbasis kebudayaan lokal ke dalam sistem yang telah digagas dan dikembangkan oleh Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu Rumah Belajar. Platform gratis ini sebenarnya merupakan wahana belajar yang menarik.

Namun sayangnya, menurut Penulis, platform ini belum dikelola secara optimal oleh Pemerintah. Pertama, terkait Sumber Daya Manusia, yaitu fasilitator atau yang disebut dengan Duta Rumah Belajar.

Dari observasi yang Penulis lakukan terhadap salah satu video pembelajaran Rumah Belajar, terdapat kesalahan yang cukup fatal yang dilakukan Duta Rumah Belajar ketika menjelaskan materi bahasa Inggris. Pengucapan live sebagai kata kerja, yang berarti hidup atau tinggal, yang seharusnya diucapkan atau dibaca /liv/, oleh Duta Rumah Belajar kata tersebut diucapkan menjadi /laiv/.

Kesalahan ini pernah diidentifikasi oleh salah satu peserta didik SMK yang Penulis teliti. Padahal secara umum, peserta didik SMK memiliki vocabulary deficit dibandingkan SMA, menurut penuturan salah satu guru bahasa Inggris yang diwawancarai oleh Penulis. Kesalahan sepele ini tentu saja agak memalukan. Berarti Duta Rumah Belajar tidak diseleksi dengan matang dan tidak adanya final checking atau quality control sebelum video pembelajaran tersebut dirilis oleh Rumah Belajar Kemdikbud.

Oleh karena itu, Penulis ingin mengajak Pemerintah untuk belajar dari salah satu platform komersial yang memang secara kualitas masih lebih unggul dari Rumah Belajar. Dalam proses seleksi, platform komersial tersebut tidak main-main ketika menetapkan kualifikasi dan standar apresiasi bagi para tutor.

Usul dari Penulis adalah Pemerintah seyogyanya dapat ‘mengambil keuntungan’ dari banyaknya awardee dan alumni beasiswa LPDP di bidang linguistik terapan, pendidikan bahasa Inggris, dan TEFL (Teaching English as a Foreign Language), yang sama-sama memiliki visi kembali untuk mengabdi, untuk diajak bekerjasama menjadi tutor ‘sukarela’ atau ‘freelance’ di platform Rumah Belajar. Walaupun beasiswa tersebut memang bersifat tidak mengikat, Penulis yakin para penerima beasiswa terpilih akan sangat antusias membantu Pemerintah menjawab tantangan peningkatan kualitas berbicara bahasa Inggris di Indonesia.

Pemerintah, menurut hemat Penulis, tidak perlu mengeluarkan banyak biaya terkait persiapan SDM atau tutor Rumah Belajar ini. Toh, sudah banyak dana yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam membiayai studi para penerima beasiswa tersebut. Kedua, terkait pemugaran kembali platform Rumah Belajar.

Walaupun bersifat nonkomersial dan memang seyogyanya demikian, tidak ada salahnya platform tersebut lebih ditingkatkan lagi kualitasnya agar nantinya teknologi ASR berbasis folklor lokal memungkinkan untuk diterapkan.

Memang dibutuhkan alokasi dana, tapi Penulis kira, masih affordable bagi Pemerintah untuk merealisasikannya. Yang perlu diingat adalah Indonesia tidak pernah kekurangan ahli di bidang IT, tinggal bagaimana caranya Pemerintah memanfaatkan potensi tersebut. Selain itu, belajar mengenai web-interface, fitur-fitur pembelajaran yang ditawarkan, sistem tracking dan log-files, dan hal-hal teknis lainnya dari platform-platform komersial atau start-up di bidang pendidikan juga sah-sah saja.

Lebih lanjut, mengingat luasnya wilayah Indonesia, Pemerintah saat ini memang belum mampu mengupayakan meratanya jaringan internet dan penyediaan komputer atau teknologi pembelajaran terkait, khususnya di sekolah-sekolah di daerah pelosok atau tertinggal. Oleh karena itu, kerjasama dengan Dinas Pendidikan dan Pemerintah Daerah serta perusahaan-perusahaan dengan CSR di bidang pendidikan dan teknologi sangat diperlukan.

Sebagai penutup, Pemerintah semestinya tidak boleh kalah dalam berlomba meningkatkan kualitas manusia Indonesia, apalagi dengan mereka yang tujuan utamanya (mungkin) adalah bisnis semata. Mari, kita gelorakan kembali visi (digital) education for all!.(kompas.com).