Diah Widuretno, Penggagas Sekolah Kontekstual

Sekolahnews.com – Pendidikan sejatinya adalah tempat tercetaknya generasi yang bisa membantu memecahkan persoalan di tengah masyarakat. Setelah lulus, harapannya ilmu yang diterima dapat diterapkan oleh mereka untuk masyarakat, bukan sebaliknya yang mengacuhkan atau meninggalkan lingkungannya.

Keresahan Diah Widuretno atas Pendidikan – Pendidikan dan pertanian mungkin secara tak langsung menjadi dua buah topik yang sangat renyah untuk terus dibahas agar menemukan sebuah sistem yang memang dibutuhkan dan kontekstual pada setiap daerah di Indonesia. Keberagaman yang menjadi nyawa bangsa ini juga menjadi penguat bahwa tanpa sistem dan pendidikan yang tepat, mustahil kesejahteraan bagi setiap orang bisa dicapai.

Keterampilan bertani, bertahan hidup dalam pemenuhan pangan merupakan sebuah syarat mutlak yang seharusnya diwarisi oleh setiap putra nusantara. Bagaimana tidak, bentang alam yang terkenal akan kesuburan tanah serta kekayaan alam baik di darat maupun di laut menjadi gagap tatkala krisis iklim dan pangan tengah mengancam dunia.

Kesadaran inilah yang coba dibangun oleh seorang sukarelawan pendidikan di sebuah desa yang mulai banyak ditinggalkan oleh generasi mudanya dengan membangun sekolah Pagesangan. Meskipun tanpa dinding dan atap sekolah, ia tetap pertahankan eksistensi desa kecil yang ditinggalkan generasi mudanya.

Sekolah Pagesangan merupakan sekolah informal yang didirikan oleh Diah Widuretno sekitar tahun 2013. Sekolah ini berlokasi di Dusun Wintaos, Kabupaten Gunung Kidul. Diah sendiri sebenarnya bukanlah penduduk lokal desa tersebut. Ia adalah relawan yang memiliki minat pada dunia sosial, pendidikan, dan pemberdayaan. . Sesuai dengan namanya, Gesang yang artinya hidup,

Sekolah Pagesangan bukan lembaga belajar seperti kebanyakan yang kita bayangkan, bukan juga lembaga LSM ataupun program pemerintah.

“Saya tidak melakukan ini (mendirikan Sekolah Pagesangan) karena kasihan. Ini Bukan LSM. Bukan juga proyek pemberdayaan. Saya mendirikan sekolah ini karena saya ingin belajar. Saya berprinsip hidup kan singkat jadi saya ingin hidup bermanfaat bukan dimanfaatkan. Kalau orang lain setelah meninggal mungkin hanya dikenang 1000 hari, itu pun hanya oleh orang terdekat. Saya ingin ketika meninggal saya juga memberikan jejak yang baik, yang bermanfaat bagi orang lain”

Murid-muridnya hanya belajar di gubuk sederhana yang tersusun dari bambu-bambu dan tidak memiliki dinding. Para muridnya juga tidak menggunakan sepatu, seragam sekolah, tas, ataupun perlengkapan sekolah lainnya.

Mereka diajarkan apa saja, tetapi utamanya adalah tentang bagaimana hidup yang berdaya. Ya, hidup yang berdaya dari desa dengan segala kelebihan maupun kelemahan yang dimilikinya. Oleh sebab itu, sekolah ini diberi nama Sekolah Pagesangan yang berarti “Sekolah Kehidupan”.

Pada kelompok anak-anak, Diah mengajarkan hal-hal dasar, yaitu mengajarkan agar mereka lebih mengenali diri sendiri dan lingkungannya serta ditanamkan cara agar bisa mencintai dan merasa bangga sebagai anak desa. Diah juga memberikan pembekalan jiwa kemandirian dan rasa tanggung jawab.

Lain halnya dengan kelompok pengolah, yaitu kelompok yang notabenenya diisi oleh usia dewasa dan orangtua ini diajarkan cara menemukan dan mengembangkan produk dari hasil pertanian yang ada di desa. Hal ini dilakukan agar mereka bisa meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan hidup pada warga Desa Wintaos. Hasil-hasil bumi, seperti singkong, kacang koro, kelapa, jagung, dan sebagainya diupayakan untuk bisa menjadi aneka olahan yang memiliki nilai jual lebih tinggi dari biasanya.

Kemudian ada kelompok tani, mereka belajar tentang cara menyediakan hasil pangan dengan kualitas baik dan mampu menjaga keseimbangan alam di Wintaos.

Pendidikan Kontekstual

Pembelajaran di Sekolah Pagesangan juga diketahui memiliki keunikan. Siswa bukan hanya menjadi objek, tetapi juga dilibatkan sebagai subjek dalam merumuskan pelajaran apa saja yang perlu untuk dipahami dan dicarikan pemecahannya. Pembelajaran berbasis persoalan ini yang biasa disebut Diah sebagai pendidikan kontekstual. Ya, materi pembelajaran yang diangkat sesuai dengan kebutuhan atau masalah yang biasanya dihadapi di kehidupan bertani sehari-hari, seperti cara menambah kesuburan tanah.

Meski berbeda dengan sistem sekolah pada umumnya, Diah justru menjelaskan bahwa dengan metode semacam ini akan sangat efektif. Sebab masyarakat sebagai peserta didik bisa ikut terlibat merumuskan masalahnya dan terus termotivasi untuk mencari pemecahan masalah yang benar-benar dialaminya.

Kini, para remaja Wintaos banyak menghasilkan produk-produk makanan olahan, kurang lebih 9 komoditas hasil bumi dan 16 produk hasil olahan. Beberapa di antara produk olahan itu seperti tempe dari kacang koro, tepung mocaf dari singkong, tepung gaplek, tiwul instan, keripik singkong, sale pisang, dan minyak kelapa.

Semua produk olahan tersebut dijual secara daring di Facebook, WhatsApp, dan Instagram. Di samping itu, produk olahan Wintaos juga dijual melalui pasar-pasar komunitas yang ada di Jogja. Untuk memudahkan distribusinya, Diah dan manajer pemasaran biasanya membawa sendiri produk tersebut sejauh rumah Diah yang ada di Imogiri, Bantul.

Diah Widuretno, wanita tangguh, tulus, dan prestatif. Memiliki semangat hidup, menebar kebermanfaat. Anak bangsa yang melahirkan anak bangsa lainnya. Memberi cahaya di tengah redupnya perubahan.