Pendidikan Hakekatnya Memerdekakan
SekolahNews — Diketahui, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim telah menyampaikan empat program pokok kebijakan pendidikan Merdeka Belajar. Program tersebut meliputi perubahan pada Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi. Keempatnya pun tentu saja bermuara pada guru.
Ketua Dewan Pengawas Federasi Serikat Guru Indonesia (FGSI) Retno Listyarti bicara banyak soal hal ini. Menurutnya, perubahan seperti inilah yang justru dinantikan.
“Saya bersyukur karena akhirnya ada menteri pendidikan yang bicara arah pendidikan yang mendekati pemikiran pendidikan Ki Hajar Dewantara, yaitu tentang ‘Merdeka Belajar’. Pendidikan pada hakikatnya menumbuhkan kemerdekaan sehingga seseorang dapat tumbuh kembang menjadi dirinya sendiri.
Baca juga: 4 Pokok Kebijakan Pendidikan “Merdeka Belajar” |
Apabila pendidikan masih mengekang dan memenjarakan, bagaimana seseorang bisa menjadikan kegiatan mencari ilmu sebagai jiwa kehidupannya? Yang ada, seseorang hanya melaksanakan kewajiban mengenyam pendidikan untuk mencapai target jangka pendek saja,” ujarnya, pekan lalu.
Retno lantas mengambil contoh bahwa siswa selama ini terlalu mengacu pada lulus ujian, mendapatkan peringkat, dan mendapat ijazah. Sementara pada faktanya, ketiga hal tersebut ternyata tidak menyumbang pengaruh yang signifikan dalam dunia kerja.
“Kemerdekaan diri dan kemerdekaan pikiran adalah dua pasal dalam ‘Azas Taman Siswa 1922’ yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara dalam pidato pembukaan perguruan Taman Siswa. Pasal itu adalah pasal yang harus tetap hidup menuju pendidikan ideal yang diidamkan Ki Hajar Dewantara,” sambungnya.
Pertanyaannya sekarang, apakah Merdeka Belajar versi Nadiem ini bisa membuat guru lebih berinovasi? Menurut Retno, ini memang menjadi tantangan nyata bagi semua guru. Tidak mudah itu pasti. Namun, bukan berarti tak bisa dilakukan.
Pola pikirnya, “Kemerdekaan terwujud jika anak merasa senang untuk mencari ilmu. Jadi, tanpa diiming-imingi sepeda, anak seharusnya sudah rajin mencari ilmu tentang apa yang ia sukai. Apabila anak sudah terpikat dengan pendidikan, anak akan mencari tahu sampai tuntas melalui media apa pun,” katanya lagi.
Ya, lanjut Retno, membiarkan anak memilih apa yang ingin dia pelajari tanpa menyederhanakan penilaian dengan angka, tetapi menghargai usaha anak dalam mendapatkan ilmu adalah upaya memberikan kebebasan berpikir pada anak. Anak menjadi tidak terpaku akan angka akhir yang terwujud ranking sehingga anak akan santai, tanpa beban, dan maksimal dalam menuntut ilmu.
Prinsip-prinsip tersebut, dalam hal ini, merdeka dalam belajar, tidak biasa bagi para guru di Indonesia. “Jadi, mengubahnya perlu persiapan yang matang. Ibarat membelokkan kapal tanker diperlukan ancang-ancang agar bisa berbelok dengan mulus,” sambungnya.
Sekarang, PR sesungguhnya adalah sinkronisasi dari sistem pendidikan yang selama ini sudah kadung diyakini, yaitu semakin besar angka hasil mata pelajaran, semakin tinggi peringkat.
“Begini. Sejak sekolah dasar ketika pembagian rapor, seringkali orang tua berkata, ‘ranking anak saya berapa ya?’ Kepala sekolah, kepala dinas pendidikan, dan bahkan para pejabat Kemdikbud selama bertahun-tahun juga ‘mabok angka’. Makanya, Ujian Nasional pun didewakan hasilnya. Segala cara dilakukan demi pencapaian angka yang ditargetkan. Anak-anak pun jadi korban,” katanya.
Baca juga: Mau Bermain Sambil Belajar, Ajak Anak ke Sini! |
Fenomena ranking ini, menurutnya, memengaruhi psikologi anak dan orang tua. Psikologi orang tua terganggu karena menilai hasil belajar anaknya hanya dengan angka, bukan dengan perilaku positif anak dari hasil pendidikan.
Sekali lagi, pendidikan itu untuk mengajar anak berpikir bukan menjawab soal. Manusia terdidik adalah manusia yang tajam dalam berpikir dan memiliki kehalusan nurani. Namun, esensi berpikir (bernalar) dalam belajar, selama 25 tahun terakhir ini bukan budaya belajar dari sekolah-sekolah di Indonesia. Membalikkan ini semua bukan pekerjaan mudah bahkan sangat sulit.
Seperti kata Ki Hajar Dewantara dulu, bukan salah guru kalau sistem mengajar tidak pernah berubah sejak dulu. “Yang salah itu sistem pendidikannya yang dari dulu menggunakan angka-angka,” tutupnya. (Efi Susiyanti/SindoWeekly)