…dan Jogja Istimewa, Solo Luar Biasa!
“……… dengar lagu lama ini katanya
izinkan aku pulang ke kotamu
kupercaya selalu ada sesuatu di jogja …….”
SekolahNews — Yogyakarta, Potongan lirik lagu Sesuatu Di Jogja dari Adhitia Sofyan yang mengisi ruang bis pariwisata saat bergerak menuju Yogyakarta. Petikan gitar mengiringi lagu demi lagu yang dilantunkan ala siswa-siswi kelas 8 SMP Tarakanita I dalam perjalanan widya wisata selama 4 hari ke Yogyakarta dari tanggal 28 – 31 Oktober 2019. Canda tawa menghiasi perjalanan darat yang dimulai sekitar pukul 08.00 dari sekolah, Jalan Kapten Tendean 118, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Lalu lintas cukup lancar, sehingga nyaman untuk main game, nyanyi, tidur, bercanda, atau menikmati pemandangan kiri-kanan jalan. Tapi satu yang pasti ditunggu dan membuat semangat kembali, yaitu ketika masuk ke rest area, karena selain untuk ke toilet, itu waktunya buat jajan …..hahahaha. Tak terasa konvoi dua bis rombongan Tarsat telah sampai di salah satu Panti Asuhan, di daerah Bantul, Yogyakarta. Kami hadir untuk menyapa dan menyerahkan bingkisan kepada anak-anak yang ada di sana.
Baca juga: 6 Fakta Menarik Tentang Candi Prambanan |
Menikmati Alam, Sejarah Dan Budaya
Alarm bangun pagi dari tiga seluler berbunyi saling bersahut-sahutan …. aduh mager (red. malas gerak) banget ….. rasanya ingin tetap di bawah selimut. Oh iya, setiap kamar berisikan tiga anak yang telah dibagi sebelum berangkat. Entah ada kekuatan apa yang membuat mata melek, seperti membisikan “…..ini Jogja lho, gak usah masuk kelas”. Setelah beres mandi – sarapan, kami bergegas masuk ke bis untuk meninggalkan hotel di kawasan Malioboro menuju petualangan di hari ke dua.
Udara sejuk pun menyambut rombongan saat tiba di Ketep Pass yang berada di atas bukit Sawangan, Magelang, Jawa Tengah. Bagi yang doyan selfie, nge-vlog atau berburu foto alam, tempat ini jangan pernah dilewatkan karena menyajikan panorama alam pegunungan. Letaknya berada di antara Gunung Merapi dan Merbabu dengan di ketinggian 1200 Mdpl. Bila menengok ke bawah, tampak perkebunan dan daerah sekitar Magelang ….ckckckck indah banget gaes.
Baca juga: Menikmati Pesona Kawasan Bukit Menoreh |
Selain keindahan alam, Ketep Pass juga menawarkan wisata edukasi karena di sana terdapat museum vulkanogi dan bioskop mini yang bernama Ketep Volcano Centre. Dan kalau sudah capek dan lapar, pengunjung bisa mampir ke berbagai rumah makan yang berjejer dengan harga sangat terjangkau.
Pagi hari merupakan waktu yang paling pas untuk ke sini, apalagi kalau bisa sampai di puncaknya, Panca Arga. Kita dapat menikmati keindahan Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro, Sumbing, dan Slamet, itu dengan catatan kalau tidak ada kabut atau awan tebal.
Belum puas memanjakan mata, rombongan harus bergerak lagi menuju Candi Borobudur. Cuaca sangat cerah, matahari bersinar terik ….wiiiiih panasnya mantap banget ….tapi tidak mengurangi keinginan kami untuk menjelajahinya sekitar satu jam tiga puluh menit.
Oh iya gaes, ada sedikit tips nich buat yang mau belanja di lorong saat keluar, kita harus melakukan hit and run saat bertransaksi. Tahu kenapa ? Sebuah kaca mata hitam diberi harga awal Rp. 75.000,- tapi salah satu rekan kami menawar dengan angka Rp. 15.000,- mentok dan langsung tinggal. Alhasil, penjual memanggilnya dan menyerahkan kaca mata hitam dengan harga Rp. 25.000,- …..hihihi asyikan.
Adu teka-teki diiringi alunan lagu-lagu yang keluar dari sound system, konvoi dua bis mengantar rombongan ke Klaten, sekitar 17 Km arah timur dari Yogyakarta. Akhirnya yang ditunggu-tunggu hadir di depan mata …. Candi Prambanan. Candi Hindu yang terbesar di Indonesia diyakini dibangun pada abad ke 9 oleh Raja Balitung Maha Sambu dari Wangsa Sanjaya. Keenam bangunan utama berdiri kokoh, indah, seakan memendam misteri masa lalu.
Baca juga: Menikmati Pesona Kawasan Bukit Menoreh |
Matahari terbenam di sore hari itu seakan menyihir hampir setiap pengunjung untuk menjadi fotografer atau videografer. Menyebar, berburu sudut terbaik memotret landscape atau mencari celah waktu untuk foto bareng sebagai kenang-kenangan seumur hidup ….hahaha.
Menjelang sekitar pukul 18.30, pengunjung memasuki arena Sendratari Ramayana yang masih berada di kompleks Candi Prambanan. Dimulai dengan para penari turun tangga dengan artistik latar belakang Candi Shiva, Vishnu, dan Brahma tersoroti soroti lampu tembak, sumpah keren banget gaes. Pertunjukan sendratari kolosal kali ini mengisahkan legenda Roro Jonggrang yang dibagi menjadi dua babak.
Kombinasi cerita dan gerakan tari membuat kita sadar, betapa alangkah indahnya seni budaya kita. Terlebih pada penghujung akhir cerita dimana para penari menggunakan api sebagai sarana pertunjukan. Oh iya gaes, ternyata tidak mudah juga memotret seni panggung. Kita harus meramu speed, diafragma, iso, menjadi foto yang tidak goyang atau blur dan pas momennya. Tapi hati-hati dalam menggunakan iso tinggi demi mengejar speed di atas 1/100s, terutama untuk kamera non profesional, karena iso yang terlalu tinggi, di atas 1600, hasilnya akan noise sekali. Yang jelas, pengalaman malam ini menambah wawasan tentang seni dan budaya Indonesia.
Menyapa Solo dan Sekitarnya
Seperti kemarin, alarm bangun pagi kembali bersahut-sahutan …. hehehe ….tapi kali ini lebih sigap untuk segera mempersiapkan diri. Di hari ketiga, rombongan Tarsat kembali berpetualang, kali ini menuju ke Solo, Jawa Tengah. Gapura berwarna hijau telah menyambut, inilah Puro Mangkunegaran yang berada di Jalan Ronggowarsito, Keprabon, Banjarsari, Surakarta. Tembok tinggi berbaris mengelilingi bangunan, bila berjalan melewati gapura maka tampak lapangan luas tempat para prajurit Mangkunegaran berlatih, atau biasanya disebut Pamedan. Melewati gerbang kedua, bangunan Pendopo Ageng yang berbentuk Joglo berdiri megah dan kokoh. Istana yang dibangun pada tahun 1757 ini mempunyai beberapa bagian mirip keraton, seperti pamedan, pendhopo, pringgitan, ndalem, dan keputren.
Di dalam area pendhopo yang luasnya sekitar 3500 meter persegi terdapat tiga gamelan yaitu Lipur Sari yang biasa dimainkan pada setiap hari Rabu untuk latihan tari, Kyai Seton ditabuh setiap hari Sabtu, dan Kyai Kenyut Mesem yang hanya dimainkan saat acara pernikahan dan upacara kenaikan tahta. Dan kami sangat beruntung datang di hari Rabu karena dapat menyaksikan tarian di pendhopo. Di dalam kompleks ini juga terdapat museum yang letaknya berada di Ndalem Ageng. Bangunannya berbentuk seperti limas, dan di dalamnya terdapat berbagai macam senjata, perhiasan, pakaian, perlengkapan wayang, benda seni hingga gambar-gambar Mangkunegara dari beberapa generasi. Pada bagian belakang ada taman yang tertata indah, lengkap dengan kolam air mancur, ini merupakan Dalem Ageng, tempat tinggal keluarga Mangkunegaran.
Dari situ, rombongan pun bergegas menuju tujuan berikutnya, Keraton Surakarta atau Kasunanan Surakarta di Baluwarti, Pasar Kliwon. Dari kejauhan tampak Panggung Sangga Buwana, sebuah menara segi delapan dengan tinggi sekitar tiga puluhan meter yang merupakan bagian dari keraton.
Baluwarti, dinding tinggi dan tebal mengelilingi kompleks keraton yang dibangun tahun 1744 oleh Susuhunan Pakubuwana II. Untuk memasuki kompleks keraton dari sisi utara, pengunjung harus melalui pintu gerbang Kori Kamandungan, dimana letak menara segi delapan dapat terlihat dengan jelas. Konon menara tersebut digunakan oleh Susuhunan untuk bersemedi dan juga berfungsi sebagai menara pertahanan, memantau keadaan di sekeliling. Kompleks keraton terdiri dari beberapa bagian, seperti Kedaton, Kamandungan Lor, Kamandungan Kidul, Alun-alun Lor, Alun-alun Kidul, Sasana Sumewa, Siti Hinggil Lor, Sri Manganti, dan masih ada beberapa lagi. Hampir sebagian besar bentuk bangunan bergaya arsitektur Jawa-Eropa dengan didominasi warna putih dan biru. Sekilas, tata letak bangunannya seperti keraton yang ada di Yogyakarta, mungkin karena arsiteknya adalah Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwana I. Beliau juga yang menjadi arsitek pembangunan keraton Yogyakarta. Berbagai benda-benda peninggalan seperti senjata kuno, peralatan kesenian, alat memasak, hingga kereta kencana dapat dilihat di museum.
Mengintip Sejarah Gula
Kurang lengkap rasanya bila ke Solo tak mampir ke bekas Pabrik Gula Colomadu di Karanganyar, Jawa Tengah. Bekas pabrik gula yang saat ini bernama De Tjolomadoe, dibangun oleh Mangkunegaran IV pada tahun 1861. Sekitar tahun 1928, area pabrik ini diperluas untuk area lahan tebu dan sempat mengalami perombakan pada arsitekturnya.
Setelah tidak terpakai lebih hampir 20 tahun, pabrik ini dibenahi, konstruksi revitalisasi tapi tetap mengikuti kaidah cagar budaya pada tahun 2017. Ini merupakan peninggalan sejarah pada bidang ekonomi nasional, khususnya gula di Indonesia, dan telah menjadi salah satu tujuan wisata di wilayah Jawa Tengah.
Luas bangunan pabrik sekitar 1,3 ha di atas lahan 6,4 ha dan masih lengkap dengan mesin-mesin raksasa. Guratan dan bintik-bintik karat pada mesin seperti mengajak pengunjung untuk berkhayal atau menerawang jauh kebelakang ke masa lalu. Langit-langit bangunan sangat tinggi sehingga membuat ruangan tetap sejuk walaupun tanpa menggunakan mesin pendingin. De Tjolomadoe mempuyai beberapa tempat atau ruangan yang telah difungsikan sebagai museum, restoran, penjualan cendera mata, cafe, ruang pertunjukan, dan ruang serbaguna. Uniknya, nama-nama ruangan tersebut tetap sama seperti ketika masih menjadi pabrik gula.
Malam Terakhir
Setelah berpetualang seharian, gerombolan Tarsat mempunyai waktu bebas dari seusai makan malam bersama hingga pukul 20.00 tepat. Dan rasanya kurang pas bila ke Jogja tanpa mampir ke Malioboro, apalagi cukup dekat dengan hotel tempat menginap.
Keseruan malam itu dimulai sejak berjalan kaki meninggalkan hotel menuju malioboro, sudah pasti ….bercanda, tawa, celoteh, dan kembali ….bercanda lagi.
Baca juga: Menjadi Putra Putri Minang di Istana Pagaruyung |
Awalnya ingin berfoto di bawah tulisan JL. Malioboro yang terkenal itu, tapi tidak jadi karena antrean yang terlalu panjang. Akhirnya diputuskan langsung menyusuri jalan sambil menikmati suasana di kawasan itu.
Di perjalanan, ada yang mampir lagi ke penjaja pernik-pernik oleh-oleh khas Jogja di pinggiran, walaupun tadi sore sudah belanja. Tapi ada juga yang memilih masuk mal, mungkin sudah kangen dengan mal-mal Jakarta atau mungkin juga sekedar ingin tahu bedanya mal di Jogja dengan di Jakarta …..hahahaha.
Menyusuri jalan sambil mengamati lalu lalang andong, becak atau orang, dengan diiringi alunan musisi jalanan, rasanya seperti puisi malam yang enggan diselesaikan. Sebuah rasa yang susah didapat di kota metropolitan, sepertinya cocok nih dengan kata-kata Adhitia Sofyan,
“ ……..terbawa lagi langkahku ke sana ……mantra apa entah yang istimewa ……kupercaya selalu ada sesuatu di jogja …..”
Empat hari, petualangan, bersama teman-teman, belajar sejarah-budaya, belajar memahami pribadi masing-masing adalah pelajaran yang berharga dan selalu dikenang sepanjang masa.
Kontributor Repoter Cilik : Raynor A. Handianto
Editor : J. Handy S