Esport: Olahraga atau Candu?

SekolahNews – Potensi yang besar dan antusiasme yang tinggi membuat industri esport di Indonesia layak dibenahi. Pemerintah pun bergerak cepat dan segera menggaet esport dengan mengakuinya sebagai cabang olahraga baru sejak 2016 lalu.

Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Gatot Dewa Broto mengaku Indonesia memiliki peluang besar memboyong medali emas di berbagai kejuaraan internasional esport, seperti dikutip dari VOA Indonesia, Minggu (20/10/2019).

“Pada saat Asian Games, esport itu salah satu cabang olahraga yang dieksibisikan. Atas persetujuan OCA (Olympic Council of Asia) esport bisa dipertandingkan sebagai eksibisi dan ada tujuh negara yang ikut. (Pertandingan) yang paling dekat itu nanti di SEA Games di Manila November mendatang. Indonesia berharap akan peroleh tiga medali emas,” ujar Gatot di kantornya.

Baca juga: Ratusan Anak di Jawa Barat Kecanduan Game

Keseriusan pemerintah dalam menggarap esport sebagai sebuah cabang olahraga ditunjukkan langsung oleh Presiden Jokowi saat menyelenggarakan Piala Presiden khusus untuk esport tingkat nasional.

Tidak tanggung-tanggung, ambisi pemerintah untuk mengembangkan esport dilanjutkan dengan penyelenggaraan kedua kalinya Piala Presiden untuk esport di akhir tahun 2019 ini dengan cakupan turnamen se-Asia Tenggara.

Mantan Menpora Imam Nahrawi pun sempat mendapat sorotan awal tahun 2019 lalu ketika menyatakan ingin memasukkan video games ke dalam kurikulum sekolah. Hal ini mendapatkan respon bervariasi. Tidak heran, karena konotasi video games selama ini yang justru identik dengan candu dan nilai buruk sekolah.

Esport vs citra buruk video games

Gatot tidak menampik adanya citra buruk video games yang dianggap justru jauh dari citra anak berprestasi. Banyak pihak yang justru meragukan istilah ‘olahraga’ dalam esport karena dianggap jauh dari menyehatkan.

“Kami sekarang di sejumlah sosialisasi itu mencoba menggunakan role modelRole Model itu para atlet-atlet kawakan esport tertentu, mereka kita buatkan semacam kayak videonya untuk public campaign bahwa sebelum bertanding itu ada aktivitas fisik yang harus mereka lakukan, sehingga supaya mereka (masyarakat) juga berpikir bahwa The Real athlete untuk esport itu adalah sama dengan persiapan seorang atlet yang akan berlaga di cabang olahraga yang lain.

Baca juga: Mengerikan, Mata Nyaris Buta Karena Bermain Ponsel Terlalu Lama

Tapi lagi-lagi bahwasanya ada stigma negatif itu mungkin tantangan bagi kami dan itu butuh waktu lah. Saya ngga yakin dibutuhkan waktu 1-2 tahun, mungkin 5 tahun lah untuk mengangkat bahwa ini sebagai olahraga yang bisa diterima,” ujar Gatot.

Onic-pun menyadari adanya persepsi buruk ini di masyarakat. Dalam menu latihan rutin atletnya, Onic berinisiatif dengan memasukkan menu latihan fisik 1-2 jam setiap minggunya untuk mengimbangi kesehatan fisik atletnya. “Kita punya physical coach, ini spesifik buat anak-anak buat endurance, terus misalnya latih fokus, latih mental. Jadi mereka ngga cuma main game aja,” kata Justin.

Jadi, pemerintah harus menentukan batas. Sebagai olahraga video games layak mendapat tempat, asal tidak serampangan dalam menerapkannya, agar generasi muda kita tidak hanya menjadi korban tapi harus menjadi pemain esport yang mendunia.