Guru Mughni Kuningan, Ulama & Guru Orang Betawi

Sekolahnews.com – Di Jakarta, ada dua bangunan yang tampak unik karena tidak tergerus derasnya pembangunan kota metropolitan ini.

Bangunan pertama adalah sebuah masjid di pinggir jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan bernama Baitul Mughni.

Bangunan kedua adalah situs cagar budaya berupa makam dan masjid kecil di kawasan elite bisnis Jakarta, tepatnya sekitar 500 meter dari Hotel JW Marriott, di depan Kantor Kedutaan Besar Pakistan, Jalan Mega Kuningan, Jakarta Selatan.

“Kondisi makam sangat terawat, berlantai keramik dengan warna dasar abu-abu. Setiap hari berbondong-bondong orang salat di Masjid Baitul Mughni, sebagaimana ada peziarah datang ke makam dan masjid kecil itu untuk sekadar berziarah dan salat,” terang Helmi Hidayat dalam karyanya berjudul Guru Mughni Kuningan (1860-1935): Mata Rantai Biographical Dictionary Ulama Betawi.

Kedua bangunan ini memang tidak bisa terpisahkan dengan ulama dan pejuang kemerdekaan, Abdul Mughni bin Sanusi bin Ayyub bin Qais yang hidup di antara tahun 1860-1935. Guru Mughni disebut sebagai salah satu dari 13 ulama Betawi generasi kelima yang hidup pada era penjajahan Belanda.

Menukil dari Ensiklopedia Jakarta, Selasa (23/11/2021), Ayah Guru Mughni adalah Haji Sanusi bin Ayyub yang masih keturunan dari Adipati Cangkuang atau Pangeran Kuningan. Tidak mengherankan sosok Guru Mughni begitu dihormati oleh masyarakat selain dari keilmuaannya.

Walau terlahir dari keluarga kaya pada saat itu, Haji Sanusi tidak melupakan pendidikan agama Islam kepada anak-anaknya. Sehingga Mughni kecil dan kakak-kakaknya harus tetap mengaji selepas membantu berdagang.

Mughni pertama kali belajar dari ayahnya di Masjid Mubarok, Kuningan, sesudahnya belajar kepada guru bernama H. Jabir yang lalu meneruskan belajar kepada Sayyid Usman bin Yahya yang digelari “Mufti Betawi”. Setelah memasuki usia 18 tahun, Mughni dikirim ayahnya menuntut ilmu di Makkah dan bermukim di sana selama 9 tahun.

Di Makkah, dirinya belajar berbagai ilmu kepada halaqah para ulama. Semua ilmu dilahap oleh Mughni, bahkan ada cerita karena kecintaannya kepada guru-gurunya. Mughni remaja terus mengulang-ulang pertanyaan berbagai dispilin ilmu itu walau sebenarnya sudah paham, sehingga para gurunya hanya bisa tertawa.

Di sana dirinya belajar dari banyak ulama, antara lain Syaikh Sa’id al-Babasor, Syaikh Mukhtar Atharid, Syaikh Umar Bajunaid al-Hadrami, Syaikh Sa’id al-Yamani, Syaikh Muhammad Ali-Al-Maliki, Syaikh Abdul Karim Al-Dagestani, Syaikh Mahfud At-Tremasi dan Syaikh Muhammad Umar Syatho, Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan lain-lain.

Guru dari para ulama Betawi

Setelah 14 tahun menimba ilmu di Makkah, baik pada perjalanan pertama dan kedua. Banyak masyarakat kemudian yang berbondong-bondong datang untuk mendapat ilmu darinya, sejak itulah dirinya mendapat sebutan “Guru Mughni”.

Guru Mughni disebut salah satu ulama yang memiliki peran penting dalam memberikan penerangan kepada masyarakat Betawi, khususnya soal akidah, sehingga melunturkan pengaruh ajaran animisme dan dinamisme.

Dari semua kitab yang digunakan Guru Mughni sebagai bahan ajar, mudah diketahui bahwa dirinya penganut Mahzab Syafi’i. Tampaknya mahzab ini banyak dianut oleh rata-rata ulama Betawi, termasuk Guru Mughni saat menyebarkan Agama Islam.

Diketahui bahwa mahzab ini tergolong sangat toleran, inklusif dan menghargai budaya lokal. Inilah yang menjadi alasan mengapa persentuhan Islam dengan budaya Betawi berjalan mulus tanpa menimbulkan konflik.

Selama hidupnya, Guru Mughni menghasilkan dua buah karya, di antaranya adalah Taudhih al-Dala’il fi Tarjamati Hadist al-Symil dan Naqlah Min ‘Ibarat al-Ulama Nasihat Mawa ’izah li Awlad al- Zamdn Fi Adab Qird ’at al-Qur’an wa Ta ‘limih.

Guru Mughni tidak anti dengan ilmu umum, dirinya banyak memanggil guru-guru untuk mengajar anaknya privat. Dari sinilah banyak anak cucu turunannya yang menjadi ulama besar, seperti KH. Ahmad Mawardi, KH. Syahrowardi, KH. Ali Syibramalisi, KH. Abdul Aziz Abdullah Suhaimi dan lain- lain.

Bukan hanya dari keturunannya, banyak juga murid-muridnya yang kelak dikenal sebagai pemuka agama terkemuka, seperti Guru Abdul Rahman Pondok Pinang, KH Mughni dari Lenteng Agung, Guru Na’im dari Cipete, KH Hamim dan KH Rasain juga dari Cipete, Guru Ilyas dari Karet dan Guru Ismail Pedurenan.

Bedasarkan Risalah Rabithah Alawiyah, pada 1925 pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak kegiatan dakwah dan pendidikan.

Tetapi Guru Mughni tetap mendirikan madrasah Sa‘adatud Darain pada 1926, sebagai satu-satunya madrasah yang ada di Kuningan. Keberadaan madrasah yang didirikan oleh Guru Mughni, sangat membantu masyarakat Betawi untuk mendapat pendidikan berkualitas.

Selain itu juga memberikan inspirasi berdirinya beragam lembaga pendidikan Islam, seperti Rumah Pendidikan Islam (RPI) di Kuningan Timur dan Madrasah Al-Falah di Mampang Prapatan.

Masyarakat Betawi berkabung, ketika Guru Mughni menghembuskan napas terakhirnya. Guru Mughni meninggal pada tanggal 5 Jumadil Awwal 1354 H atau tahun 1935 Masehi.Jasad beliau dishalatkan pada hari Jum’at oleh ribuan kaum muslimin yang datang melayat, dengan diimami oleh Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (Habib Ali Kwitang).

Sementara jenazahnya di makamkan di Mushola Al-Mizan Langgar Tanjung, Jalan Mega Kuningan Barat Blok E- 33 Kuningan Timur, Jakarta Selatan, berdekatan dengan Kedutaan Besar Republik Islam Pakistan.(goodnewsfromindonesia.id).