Mengapa Petinggi Teknologi Membatasi Akses Teknologi Kepada Anak Mereka ?
SekolahNews — Siapa yang tidak mengenal Lembah Silicon Valley atau Lembah Silikon di California, Amerika Serikat, rumah tempat berkumpulnya perusahaan teknologi dunia, seperti Apple Computer, Xerox, Fairchild Semiconductor, dan PARCAdobe Systems, Cisco Systems, eBay, Google, Hewlett-Packard, Intel, dan Yahoo! ?
Tapi tahu nggak beberapa pendiri dan pemilik perusahaan teknologi canggih ini justru membatasi akses teknologi seperti gadget kepada anak-anaknya?
Pendiri Apple, almarhum Steve Jobs, pada tahun 2011 mengakui bahwa dirinya dan istrinya, Laurene Powell, membatasi jumlah teknologi yang boleh digunakan anak-anak mereka di rumah.
Baca juga: Cara Jitu Menghindari Kecanduan Gadget
Pendiri Microsoft, Bill Gates juga dikenal membatasi paparan terhadap layar berbagai alat dan melarang penggunaan telepon genggam di meja.
Sementara Mark Zuckerberg-nya Facebook pada tahun 2017 menulis surat kepada anak perempuannya, August, yang mendorongnya untuk “ke luar rumah dan bermain-main”.
Kenapa mereka melakukan hal itu kepada anak-anaknya? Karena mereka tak ingin kehidupan putra putrinya terganggu oleh kehadiran gadget yang kerap kali membuat anak sibuk sendiri dan menghabiskan banyak waktu menatap layar.
Selain itu dia beralasan masalah kesehatan dari seringnya penggunaan gadget. Di mana ketika terlalu sering menatap layar gadget akan berdampak buruk terhadap kesehatan mata. Tak hanya itu waktu istirahat akan tersita ketika sudah kecanduan bermain gadget.
Salah satu sekolah terkenal di sana, Waldorf School, masih memegang teguh sistem pendidikan yang umurnya sudah lebih dari satu abad itu. Mereka mengembangkan kurikulum berdasarakan pemikiran filsuf Austria, Rudolf Steiner. Disiplin ilmu yang menekankan aktivitas tangan dan ekspresi kreatif. Steiner meyakini bahwa imajinasi, kejujuran, dan tanggung jawab adalah urat nadi dari pendidikan.
Meski konvensional, Waldorf School mematok biaya tinggi bagi orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya. Biaya pendidikan taman kanak-kanak hingga SMP dibanderol sebesar US$ 17.750 atau sekitar Rp 236 juta. Khusus pendidikan SMA biaya dipatok sebesar US$ 24.400 atau sekitar Rp 324 juta.
Dengan biaya sebesar itu, sebagian besar siswa Waldorf adalah anak-anak petinggi perusahaan teknologi Silicon Valley. Seperti penanggung jawab teknologi situs perdagangan terbesar di dunia eBay, hingga perusahaan teknologi raksasa Google, Apple, Yahoo, dan Hewlett-Packard.
Dengan biaya pendidikan selangit tidak berarti fasilitas pendidikan di sekolah ini penuh dengan kecanggihan. Waldorf School tidak menyediakan sebuah komputerpun bagi siswanya.
Siswa juga dilarang untuk membawa gawai seperti pemutar musik, tablet, dan telepon pintar ke sekolah. Dikutip dari Daily Mail, guru-guru di sini akan cemberut begitu mengetahui siswa mereka mengerjakan tugas dari sekolah menggunakan mesin pencarian.
Waldorf School masih setia menggunakan pensil, pulpen, kertas, dan pisau penyerut. Ruang kelasnya terlihat klasik dengan papan tulis hitam, kapur, rak berisi kumpulan buku ensiklopedia, dan meja belajar.
Pendidikan bergaya konvensional tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi para orang tua. Alan Eagle, seorang Eksekutif Google salah satunya. Pria berusia 50 tahun itu menyekolahkan dua putranya di Waldorf School.
“Saya termasuk yang menolak bantuan teknologi untuk belajar bahasa di sekolah,” kata dia pada New York Times. “Sungguh konyol orang yang percaya aplikasi di iPad bisa membantu anaknya belajar membaca atau berhitung.”
Baca juga: Ratusan Anak di Jawa Barat Kecanduan Game
Alan sehari-hari tidak pernah lepas dari iPad dan smartphone untuk bekerja. Tapi dia mengaku, anak perempuanya yang masih duduk di kelas 5 hingga kini tidak bisa menggunakan mesin pencari Google. Alan membatasi penggunaan gawai pada anaknya atas permintaan dari sekolahnya.
Alan percaya, akan tiba waktu yang tepat untuk mengenalkan anak-anaknya dengan dunia digital. Namun tidak sekarang.
“Kalau saya bekerja di Miramax dan memproduksi film bagus dengan kategori R, saya tidak ingin anak-anak saya melihat film itu sebelum usianya 17 tahun,” kata dia.